IMPLEMENTASI SUATU KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM SERTIFIKASI GURU DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Pendidikan menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan manusia pada era globalisasi sekarang, karena melalui proses pendidikan tersebut, manusia akan memperoleh pengetahuan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Melalui pendidikan, manusia akan mengalami beberapa perubahan setidaknya perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, perubahan perilaku ke arah yang lebih baik, lebih mapan dalam kehidupan dan perubahan menuju peradaban yang lebih maju sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan lingkungan.

Pendidikan dipandang juga sebagai bentuk investasi bagi suatu bangsa. Melalui pendidikan kualitas sumber daya manusia terbangun setingkat dengan mutu pendidikan tersebut. Pembangunan dalam bidang pendidikan tidak boleh berhenti selama tujuan pendidikan belum tercapai seutuhnya. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 11 ayat 1 mengamanatkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warganya. Hal ini tentunya memerlukan upaya terus menerus dan serius dari pemerintah.

Dewasa ini institusi pendidikan formal mempunyai tugas penting untuk menyiapkan dan membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Di dunia persekolahan, guru profesional menjadi faktor utama untuk meningkatkan kualitas SDM anak didiknya. Guru sebagai tenaga profesionalisme memiliki peranan untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap anak didiknya agar kelak dapat berguna bagi bangsa dan negara. Guru merupakan pilar utama demi mewujudkan tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan mencapai pendidikan yang bermutu.

Hingga saat ini tenaga kependidikan secara kuantitatif memiliki jumlah yang cukup banyak. Namun tidak semuanya memiliki kualitas tenaga pendidikan sesuai dengan kompetensi guru yang sudah ditetapkan yaitu kompetensi Pedagogis, Kognitif, Profesional dan Sosial. Selain itu selengkap apapun sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah namun apabila tenaga pendidiknya tidak memiliki kompeten maka sarana dan prasarana tersebut tidak dapat membantu siswa dalam melakukan proses belajarnya, sebagus apapun kurikulum yang telah dicanangkan pemerintah namun jika tenaga pendidiknya tidak mengimplementasikan dengan baik maka itu tidak akan berdampak apa-apa bagi siswa. Oleh karena itu selain terampil mengajar, guru juga wajib memiliki pengetahuan yang luas, memiliki sikap bijak dan dapat bersosialisasi dengan baik.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik minimum sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV), menguasai kompetensi paedagogik, profesional, sosial dan kepribadian, memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional tersebut dibuktikan dengan sertifikat sebagai tenaga pendidik. Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tersebut mendefinisikan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta pendidikan profesi. Diharapkan guru sebagai tenaga profesional dapat berfungsi meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pendidikan dan pengajaran serta meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Sertifikasi guru merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru, serta berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran. Dengan terlaksananya sertifikasi guru, diharapkan akan berdampak pada peningkatan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Pelaksanaan sertifikasi guru telah ditunggu-tunggu oleh para guru, dan menjadi topik pembicaraan utama setelah rencana pelaksanaan tahun 2006 tidak dilaksanakan karena peraturan pemerintah sebagai landasan hukum belum ditetapkan. Dengan diterbitkannya Peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, dan Peraturan Mendiknas Nomor 40 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan Melalui Jalur Pendidikan, maka sertifikasi guru sudah mempunyai landasan hukum untuk segera dilaksanakan secara bertahap dimulai pada tahun 2007. Tahun 2014 ini merupakan tahun ke delapan pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan.

Tahapan pelaksanaan sertifikasi dimulai dengan pemberian kuota kepada masing-masing Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/kota atau Dinas Pendidikan, pembentukan panitia pelaksanaan sertifikasi guru di Tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota, dan penetapan peserta Guru Agama pada Madrasah/Raudlatul Athfal, Guru Madrasah pada Sekolah Umum serta Guru Mata Pelajaran Umum pada Madrasah/ Raudlatul Athfal   oleh Kementerian Agama Pusat melalui hasil seleksi data yang disampaikan dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota dengan di terbitkannya SK Dirjen Pendis tentang daftar nama-nama peserta sertifikasi guru dalam jabatan pada Madrasah setiap tahun begitu juga Tenaga pendidika yang berada pada lingkup Kementerian Pendidikan Naional. Agar seluruh instansi yaitu Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota, Kantor Wilayah Kementerian Agama   provinsi/ Dinas Pendidikan, dan unsur terkait dengan pelaksanaan sertifikasi guru mempunyai pemahaman yang sama tentang kriteria dan proses penetapan peserta sertifikasi guru, maka perlu disusun Pedoman Penetapan Peserta Sertifikasi Guru dalam Jabatan oleh Kementerian Agama RI/ Dinas Pendidikan di Jakarta.

Persyaratan kualifikasi akademik guru adalah S1/D-IV yang dibuktikan dengan ijazah sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. Sebagai bukti predikat Guru profesional, harus melalui tahapan-tahapan/ Persyaratan kompetensi guru yang mencakup penguasaan kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik yang diperoleh melalui sertifikasi.

Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru. Sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang terakreditasi dan ditetapkan pemerintah. Pelaksanaan sertifikasi bagi guru dalam jabatan ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 18 Tahun 2007 Yo. Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, yakni dilakukan dalam bentuk portofolio.

Akan tetapi dalam kenyataannya, dalam pelaksanaan sertifikasi guru terdapat banyak permasalahan mulai dari proses pendataan, pelaksanaan Pendidikan dan Lathan Profesi Guru (PLPG), hingga pembayaran tunjangan profesi. Permasalahan tersebut belum termasuk kritik tentang belum adanya perubahan dan peningkatan kualitas guru dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas.

Di beberapa negara, sertifikasi guru telah diberlakukan secara ketat, misalnya di Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Sementara itu, di Denmark baru mulai dirintis dengan sungguh-sungguh sejak 2003. Di samping itu, ada beberapa negara yang tidak melakukan sertifikasi guru, tetapi melakukan kendali mutu dengan mengontrol secara ketat terhadap proses pendidikan dan kelulusan di lembaga penghasil guru, misalnya di Korea Selatan dan Singapura. Namun semua itu mengarah pada tujuan yang sama, yaitu berupaya agar dihasilkan guru yang bermutu.

Bagi para peserta sertifikasi yang tidak dapat memenuhi syarat nilai minimum untuk lolos Portofolio diarahkan untuk mengikuti kegiatan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru. Karena tingginya angka guru yang tidak lulus proses seleksi Portofolio maka pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru perlu dilakukan secara bertahap.

Sementara itu pada tahun 2012 pelaksanaan sertifikasi guru mengalami perubahan yang cukup signifikan dengan diberlakukannya Uji Kompetensi Awal (UKA). Uji Kompetensi Awal ditujukan untuk menguji penguasaan guru terhadap kompetensi profesional dan pedagogik, dan diperuntukan bagi guru yang akan mengikuti sertifikasi guru dalam jabatan melalui pola pendidikan dan latihan profesi guru. Peserta yang tidak lulus uji kompetensi awal tidak dapat mengikuti sertifikasi tahun berjalan, dan dapat diusulkan kembali sebagai peserta sertifikasi pada tahun berikutnya.

Hingga saat ini secara kuantitatif populasi guru di Indonesia sangat besar. Secara nasional masih banyak guru yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi akademik. Data tahun 2008 jumlah guru yang belum memenuhi kualifikasi S-1/DIV sebanyak 1.656.548. Untuk mempercepat seluruh guru memenuhi persyaratan kualifikasi pendidikan yang diharapkan tuntas pada tahun 2015 sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional sejak tahun 2006 memberikan subsidi peningkatan kualifikasi guru pada satuan pendidikan dasar dan menengah yang sedang dan akan menempuh pendidikan jenjang S1/D-IV,baik guru PNS maupun guru bukan PNS. Sejalan dengan itu, pelaksanaan sertifikasi guru yang telah dimulai sejak tahun 2007 akan terus dilakukan, sehinggan diharapkan guru-guru yang ada dan telah memenuhi persyaratan dapat memperoleh sertifikat sesuai dengan kriteria dan rentang waktu yang ditetapkan dalam Undang-Undang.

Saat ini telah Muncul komitmen kuat dari Pemerintah Indonesia, terutama Kemndiknas, untuk merevitalisasi kinerja guru antara lain dengan memperketat persyaratan bagi siapa saja yang ingin meniti karir profesi di bidang keguruan. Dengan persyaratan minimum kualifikasi akademik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 2005, diharapkan guru benar-benar memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran.

Kompetensi sebagai agen pembelajaran meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, dimana hal itu diharapkan dapat diperoleh secara penuh melalui pendidikan profesi. Ke depan, agaknya peluang orang-orang yang berminat untuk menjadi guru cukup terbuka lebar. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 19 Tahun 2005 disebutkan bahwa seseorang yang tidak memiliki ijazah S1, D-IV, atau sertifikat profesi akan tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi guru pada TK/RA/BA sampai dengan SMA atau bentuk lain yang sederajat, setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan dengan rambu-rambu tertentu.

Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang telah diamandemen, menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelengarakan satu sistem pendidikan Nasional, yang meningkatkan keimanan, dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan dunia, yang diatur dengan undang-undang, Bab XIII, Pasal 31 tentang Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Undang-undang Nomor.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bagian keempat, pasal 11 tentang Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor.74 tahun 2008 tentang Guru, menegaskan peran strategis guru sebagai pendidik profesional dalam meningkatkan mutu pendidikan, guru dituntut untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan Nasional.

  1. Rumusan Masalah

Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan implementasi suatu kebijakan pemerintah dalam sertifikasi guru di indonesia perlu mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut :

  1. Apa pengertian dan persyaratan Sertifikasi Guru?
  2. Bagaimana pelaksanaan Sertifikasi Guru dan kendala dalam pelaksanakan Sertifikasi Guru ?
  3. Bagaimana tanggungjawab intansi terkait dalam pelaksanaan Sertifikasi Guru ?
  4. Bagaimana mekanisme pemberian tunjangan Sertifikasi Guru dan kendalanya ?
  5. Bagaimana penanganan guru yang tidak lulus Sertifikasi ?
  6. Bagaimana pembinaan profesi guru pasca sertifikasi ?
  1. Tujuan dan Kajian Masalah.
  2. Dalam rangka memenuhi persyaratan sebagai tugas Mata kuliah Kebijakan dan Pengembangan Keputusan.
  3. Mengetahui arti Sertifikasi, pelaksanaan, kendala, tanggungjawab instansi terkait, mekanisme pemberian tunjangan, penanganan yang tidak lulus dan pembinaan profesi guru pasca Sertifikasi.
  1. Krangka berfikir.

Terdapat banyak variabel yang mempengaruhi kualitas/mutu pendidikan, salah satu diantaranya adalah variabel pendidik (guru). Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya mutu guru ini berkaitan erat dengan rendahnya kesejahteraan guru. Seiring dengan kondisi ini pemerintah berupaya mengatasi permasalahan rendahnya kualitas guru ini adalah dengan mengadakan sertifikasi.

Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik ini diberikan kepada guru yang memenuhi standar profesional guru. Standar profesioanal guru tercermin dari uji kompetensi. Uji kompetensi dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profeisonal guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan.

Guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik berhak pula mendapat tunjangan profesi. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 16 disebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik, berhak mendapatkan insentif berupa tunjangan profesi. Besar insentif tunjangan profesi yang dijanjikan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah sebesar satu kali gaji pokok untuk setiap bulannya. Oleh karena itu setelah guru memperoleh tunjangan profesi kualitas/kinerja guru yang bersangkutan meningkat secara siginifikan yang selanjutnya dapat meningkatkan mutu pendidikan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka sosialisasi sertifikasi guru menjelaskan bahwa tujuan diselenggarakannya sertifikasi guru adalah untuk:

  1. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional
  2. Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan
  3. Meningkatkan martabat guru
  4. Meningkatkan profesionalitas guru
  5. Melindungi profesi guru dad praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru
  6. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional
  7. Meningkatkan kesejahteraan guru

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian dan Persyaratan Sertifikasi.
  2. Pengertian Sertifikasi

Sebelum memahami lebih lanjut tentang makna Sertifikasi guru dalam jabatan, ada baiknya kita telusuri beberapa istilah yang berkembang di masyarakat. Dalam kehidupan sehai-hari, seringkali ada penyamaan istilah antara jabatan, pekerjaan dan profesi, padahal secara substansi 3 (tiga) istilah tersebut memiliki perbedaan terutama dalam konteks definisi oprasionalnya, Jabatan adalah kedudukan yang menunjukan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang pegawai. Pekerjaan adalah istilah umum (general term) yang memiliki pengertian kegiatan manusia yang menggunakan tenaga, pikiran peralatan, dan waktu untuk membuat (berbuat) sesuatu. Dalam bahasa inggris istilah pekerjaan itu disebut dengan ocupation, misalnya pembantu rumah tangga, sopir, pedagang asongan, dokter, guru. Pengawas dan sebagainya.

Definisi Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru, sedangkan Sertifikasi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang bertugas sebagai guru kelas, guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling atau konselor dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan (Pasal 1 ayat 1 Permendiknas Nomor.10 Tahun 2007 tentang Sertifikasi).

Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Selanjutnya Pasai 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 mengatur bahwa : “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasionar.

Sertifikasi diselengarakan oleh Perguruan Tinggiyang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan penyelenggaranya dikodinasikan oleh Konsorsium Sertifikasi Guru ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.

Sertifikasi Guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio, untuk memperoleh sertifikat pendidik dan pemberian sertifikat pendidik secara langsung diikuti oleh guru dalam jabatan yang memiliki kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV), belum memenuhi kualifikasi akademik S-1 atau D-IV apabila sudah, mencapai usia 50 tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 tahun sebagai guru atau mempunyai golongan IV/a, atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/a.

Penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan:

  • kualifikasi akademik;
  • pendidikan dan pelatihan;
  • pengalaman mengajar;
  • perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
  • penilaian dari atasan dan pengawas;
  • prestasi akademik;
  • karya pengembangan profesi;
  • keikutsertaan dalam forum ilmiah;
  • pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan
  • sosial; dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan

Dokumen Porto folio bagi guru bimbingan dan konseling atau konselor dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan disesuaikan dengan bidang tugasnya. Guru dalam jabatan yang tidak lulus penilaian portofolio dapat : melengkapi dokumen portofolio agar mencapai nilai lulus; Atau mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan ujian mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional sesuai persyaratan yang ditentukan oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi. Guru dalam jabatan yang belum lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru diberi kesempatan untuk mengulang ujian.

Pemberian sertifikat pendidik secara langsung bagi guru yang sudah memiliki kualifikasi akademik S-2 atau S-3 dari perguruan tinggi terakreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan dengan mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran yang diampunya dengan golongan sekurang-kurangnya IV/b atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b; atau guru kelas yang sudah memiliki kualifikasi akademik S-2 atau S-3 dari perguruan tinggi terakreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan dengan tugas yang diampunya dengan golongan sekurangkurangnya IV/b atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b atau guru bimbingan dan konseling atau konselor yang sudah memiliki kualifikasi akademik S-2 atau S-3 dari perguruan tinggi terakreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan dengan tugas bimbingan dan konseling dengan golongan sekurang-kurangnya IV/b atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b guru yang diangkat dalam jabatan pengawas pada satuan pendidikan yang sudah memiliki kualifikasi akademik S-2 atau S-3 dari perguruan tinggi terakreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan dengan tugas kepengawasan dengan golongan sekurang-kurangnya IV/b atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b atau guru yang sudah mempunyai golongan serendahrendahnya IV/c, atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/c

Sertifikasi bagi guru dalam jabatan dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas yang belum memenuhi kualifikasi akademik S-1 atau D-IV, sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) huruf b, berlaku dalam jangka waktu 5 tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.

  1. Persyaratan Sertifikasi

Tenaga pendidik merupakan sebagai Jabatan fungsional Kedudukan yang menunjukan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian /dan atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.

Dalam rangka mencapai tujuan nasional, dibutuhkan adanya Pegawai Negeri Sipil dengan mutu profesionalisme yang memadai, berdaya guna dan berhasilguna didalam melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Pegawai Negeri Sipil perlu dibina dengan sebak-baiknya atas dasar sistem karier dan sistem prestasi kerja dengan pola program Sertifikasi Guru dalam Jabatan.

Syarat-syarat peserta Sertifikasi Guru dalam Jabatan :

  1. Persyaratan Umum.
  2. Guru  yang  masih  aktif  mengajar  di  sekolah  di  bawah  binaan  Departemen  Pendidikan  Nasional  yaitu  guru  yang  mengajar  di  sekolah  umum,  kecuali  guru  Agama.  Sertifikasi  guru  bagi  guru  Agama (termasuk guru Agama yang memiliki NIP 13) dan semua  guru  yang  mengajar  di  Madrasah  (termasuk  guru  bidang  studi  umum yang  memiliki  NIP  13)  diselenggarakan  oleh  Departemen  Agama  dengan  kuota  dan  aturan  penetapan  peserta  dari  Departemen  Agama.  Sesuai  Surat  Edaran  Bersama  Direktur  Jenderal  PMPTK  dan  Sekretaris  Jenderal  Departemen  Agama  Nomor  SJ/Dj.I/Kp.02/1569/2007,  Nomor  4823/F/SE/2007 Tahun 2007.
  3. Guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan  formal yang belum memiliki serifikasi pendidik Pengawas satuan pendikan  yang  dapat  mengikuti  sertifikasi  guru  adalah pengawas  yang  diangkat  sebelum  berlakunya  Peraturan Pemerintah  Nomor  74  Tahun  2008  tentang  Guru,  1  Desember  2008 (PP No 74/2008 Pasal 67.
  4. Guru  bukan  PNS  harus  memiliki  SK  sebagai  guru  tetap  dari  penyelenggara  pendidikan,  sedangkan  guru  bukan  PNS  pada  sekolah negeri harus memiliki SK dari dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota
  5. Belum memasuki usia 60 tahun.
  6. Memiliki atau dalam proses pengajuan nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK).
  1. Persyaratan Khusus untuk Uji Kompetensi melalui Penilaian Portofolio.
  2. Memiliki  kualifikasi  akademik  sarjana  (S-1)  atau  diploma  empat  (D IV) dari program studi yang memiliki izin penyelenggaraan.
  3. Memiliki masa kerja sebagai guru (PNS atau bukan PNS) minimal  4  tahun  pada  suatu  satuan  pendidikan  dan  pada  saat  Undang- Undang  Nomor  14  Tahun  2005  tentang  Guru  dan  Dosen  terbit yang  bersangkutan  sudah  menjadi  guru.  (Contoh  perhitungan  masa kerja lihat urutan prioritas penetapan peserta).
  4. Guru  dan  guru  yang  diangkat  dalam  jabatan  pengawas  satuan  pendidikan  yang  belum  memiliki  kualifikasi  akademik  S-1/D-IV apabila sudah:
  • Mencapai  usia  50  tahun  dan  mempunyai  pengalaman  kerja  20 tahun sebagai guru, atau
  • mempunyai  golongan  IV/a  atau  memenuhi  angka  kredit  kumulatif setara dengan golongan IV/a.
  1. Persyaratan Khusus untuk Uji Kompetensi melalui Penilaian Portofolio.
  2. Guru  dan  guru  yang  diangkat  dalam  jabatan  pengawas  satuan  pendidikan  yang  memiliki  kualifikasi  akademik  magister  (S-2) atau  doktor  (S-3)  dari  perguruan  tinggi  terakreditasi  dalam bidang  kependidikan  atau  bidang  studi  yang  relevan  dengan  mata  pelajaran  atau  rumpun  mata  pelajaran  yang  diampunya, atau guru kelas dan guru bimbingan dan konseling ataukonselor, dengan golongan sekurangkurangnya IV/b atau yang memenuhi  angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b.
  3. Guru  dan  guru  yang  diangkat  dalam  jabatan  pengawas  satuan  pendidikan  yang  memiliki  golongan  serendah-rendahnya  IV/c  atau  yang  memenuhi  angka  kredit  kumulatif  setara  dengan  golongan IV/c.

Urutan prioritas penetapan peserta Sertifikasi didasarkan pada  kriteria dengan urutan prioritas: 1) masa kerja sebagai guru,  2) usia,  3)  pangkat  dan  golongan,  4)  beban  kerja,  5)  tugas  tambahan,  6)  prestasi kerja.

Sertifikasi Guru dalam jabatan yang telah lulus Sertifikasi menyandang gelar Guru Profesional, mendefinisikan profesional, tidak bisa dilepaskan dari pemahaman tentang profesi itu sendiri. Secara umum, profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut didialam scieence dan teknologi yang digunakan sebagai prangkat dasar untuk diimplementasikan dalam berbagai kegatan yang bermanfaat (Sardiman, 1996, 131), sama halnya pendapat yang dikemukakan Tilaar menurutnya, profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang menurut keahlian yang has dari para anggotanya. Keahlian kehasan tersebut, tentunya tidak dimiliki oleh anggota profesi lain, sebab keahlian dan keterampilan yang dimiliki leh suatu profesi merupakan hasil pendidikan dan pelatihan (Tilaar, 1995, 294). Dengan kata lain, bahwa profesi merupakan jabatan atau pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh indifidu atau klompok yang memang disiapkan untuk pekerjaan tertentu, bukan pekerjaan yang dilakukan atas dasar “ kebetulan” atau karena tidak mendapatkan pekerjaan.

Menurut Keneth Lynn (1945) profesi didefinisikan sebagai berikut : “Suatu profesi menyajikan jasa yang berdasarkan ilmu pengetahuan yang hanya dipahami oleh orang-orang tertentu secara sistimatik diformulasikan dan diterapkan untuk memenuhi kebutuhan klien, berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka yang dimaksud dengan Profesi merupakan pekerjaan saintific untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat, atau dengan kata lain, profesi merupakan, pekerjaan yang menuntut keahlian yang diperoleh dari pendidikan dan latihan serta memiliki kesesuaian antara disiplin keilmuwan yang dipelajari dengan pekerjaan yang diambil.

Profesionalisme berasal dari kata profesi dalam kamus bahasa Indonesia yaitu suatu bidang pekerjaan yang dilandasi dengan keahlian, jadi profesionalisme guru dapat diartikan sebagai keahlian dalam membidangi bidangnya atas dasar pendidikan yang khusus.

Gilley dan Eggland (1989) mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat.

Makagiansar, M. (1996) profesi guru adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan keguruan yang memadai.

Nasanius, Y.(1998) mengatakan profesi guru yaitu kemampuan yang tidak dimiliki oleh warga masyarakat pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan.

Diknas, (2001: 897) Profesioanalisme adalah mutu, kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang professional.

Guru profesional memiliki kemampuan mengorganisasikan lingkungan belajar yang produktif. Kata “profesi” secara terminologi diartikan suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya dengan titik tekan pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Kamampuan mental yang dimaksudkan di sini adalah ada persyaratan pengetahuan teoritis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis.

Dari sudut penghampiran sosiologi, Vollmer & Mills dalam bukunya Professionalization (1972) mengemukakan bahwa profesi menunjuk kepada suatu kelompok pekerjaan dari jenis yang ideal, yang sesungguhnya tidak ada di dalam kenyataan atau tidak pernah akan tercapai, akan tetapi menyediakan suatu model status pekerjaan yang bisa diperoleh, bila pekerjaan itu telah mencapai profesionalisasi secara penuh. Kata profesional berarti sering diartikan sifat yang ditampilkan oleh seorang penyandang profesi, berikut implikasinya dikaitkan dengan kebutuhan hidupnya. Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005, kata profesional diartikan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Profesionalisme berasal dari kata bahasa Inggris professionalism yang secara leksikal berarti sifat profesional. Profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis ini harus sejalan dengan tuntutan tugas yang diemban sebagai guru.

Jika melihat melihat batasan tentang profesi tersebut, maka yang dimaksud dengan profesionalisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh yang profesional (Tafsir, 1994, 107) dan pekerjaan Profesional akan senantiasa menggunakan teknik dan prosedur yang berpijak pada landasan intelektual yang harus dipelajari, secara sengaja, terencana, kemudian dipergunakan demi kemaslahatan oranglain (Sardiman:131). Lebih lanjut Yasin mengatakan bahwa kemampuan profesional dimaksudkan sebagai tingkat keahlian (kemahiran) yang dipersyaratkan (dituntut) untuk dapat melakukan suatu pekerjaan (jabatan) yang dialkukan secara efisien dan efektif dengan tingkat keahlian yang tinggi dalam mencapai tujuan (pekerjaan tersebut)(Rahrdjo, 1997:35).

  1. Pelaksanaan Sertifikasi Guru dan kendala dalam pelaksanakan Sertifikasi Guru.

Berdasarkan investigasi lapangan, maka ada beberapa permasalahan yang terjadi terkait proses sertifikasi guru, antara lain sebagai berikut :

Pendaftaran Calon Peserta dan Penetapan Peserta

  1. Pendaftaran Calon Peserta

Proses pendaftaran calon peserta dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut :

  • Penjaringan/pendataan calon peserta sertifikasi guru yang berada di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dilakukan oleh sekolah, selanjutnya disampaikan kepada Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diteruskan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi.
  • Hasil temuan menunjukkan bahwa proses pengiriman data peserta telah dilakukan melalui sistem online, namun di beberapa daerah data yang sudah dikirim kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak dijadikan dasar acuan penetapan peserta sertifikasi guru karena masih menggunakan data lama yang beium diperbaharui. Hal ini menimbulkan permasalahan dengan munculnya nama-nama guru yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak sesuai dengan nama sebenarnya yang telah diajukan oleh Dinas Pendidikan Ka bu paten/Kota.
  • Ketidak sesuaian nama antara data yang telah dikirim oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebabkan permasalahan di lapangan dan sering dipertanyakan oleh calon peserta sertifikasi. Sebagai contoh ada nama peserta sertifikasi yang sudah meninggai dunia, pensiun, dan mengalami mutasi struktural, akan tetapi nama-nama tersebut masih terdapat dalam data yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan instansi yang paling mengetahui tentang guru yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti sertifikasi guru adalah Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
  • Penggunaan sistem online pada kenyataannya masih menimbulkan permasalahan antara lain berupa ketidak-akuratan data calon peserta sertifikasi. Hal ini menunjukkan kurangnya koordinasi dan komunikasi antara Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang membidangi pendataan peserta sertifikasi guru termasuk juga dengan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) selaku penyelenggara sertifikasi.
  • Hasil temuan dilapangan memperoleh informasi di lapangan bahwa untuk keakuratan data sebaiknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggunakan sepenuhnya data yang disampaikan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota sebagai bahan acuan atau pedoman dalam rangka penetapan calon peserta sertifikasi. Mengingat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota selalu memperbaharui (updating) data para guru di daerahnya masing-masing.
  • Dalam hal pendaftaran peserta penjaringan/pendataan calon peserta sertifikasi guru yang berada di lingkungan Kementerian Agama dilakukan oleh pihak sekolah. Selanjutnya data calon peserta diteruskan kepada Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota untuk disampaikan kepada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi. Data tersebut selanjutnya disampaikan kepada Kantor Kementerian Agama.
  • Hasil pengamatan memperoleh data bahwa sistem online belum dipergunakan dalam pengiriman dokumen calon peserta sertifikasi guru dari daerah ke kantor Kementerian Agama di Jakarta. Namun pengiriman dokumen masih menggunakan system manual yaitu hard copy. Hal tersebut dilaporkan oleh guru-guru di daerah. Keterangan yang sama disampaikan juga oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota serta Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi. Penggunaan sistem manual berupa data hard copy yang tersedia dalam bentuk long-list tidak bisa di up date oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota di daerah. Hal ini dibenarkan pula oleh Direktur Pendidikan Tinggi Islam dan Direktur Pendidikan Agama Islam pada Kementerian Agama RI dalam pertemuan dengan Tim Ombudsman RI pada tanggal 2 Mei 2012.
  • Fakta lain yang ditemukan adalah perbedaan kesempatan mengikuti sertifikasi bagi guru agama yang mengajar di sekolah umum dan yang mengajar di Madrasah atau Pesantren. Walaupun sama-sama berada di lingkungan Kementerian Agama, namun guru yang mengajar di Madrasah dan Pesantren lebih diprioritaskan dari pada guru agama di sekolah umum. Perbedaan lain juga terdapat dari segi usia, dimana guru yang berada di lingkungan Kementerian Agama yang akan mengikuti sertifikasi guru berusia lebih muda dibandingkan dengan guru yang berada di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal tersebut disebabkan karena jumlah guru yang mengikuti sertifikasi di lingkungan Kementerian Agama jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan guru di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  1. Penetapan Peserta

Penetapan calon peserta sertifikasi guru dilakukan berdasarkan kewenangan pada masing-masing kementerian. Bagi guru yang berada di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan penetapan peserta dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (dulu Mendiknas) atas usul Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, sedangkan bagi guru yang berada dilingkungan Kementerian Agama ditetapkan oleh Menteri Agama atas usulan dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.

Hasil investigasi Tim Ombudsman memperoleh fakta sebagai berikut

  • Tidak semua guru yang memenuhi kriteria dapat menjadi peserta, khususnya guru yang telah berusia di atas 50 tahun dan guru yang telah memiliki pengalaman kerja 20 tahun. Fakta ini terjadi hampir disemua Guru yang berusia di atas 50 tahun tersebut adalah guru yang sudah mendekati masa pensiun, sehingga waktu dan peluang untuk mengikuti sertifikasi guru relatif sangat terbatas. Para guru mengharapkan adanya prioritas bagi mereka yang telah berusia lanjut dan mendekati masa pensiun dan telah memiliki pengalaman kerja lebih dari 20 tahun, dengan mempertimbangkan aspek keadilan dari aspek masa pengabdian guru.
  • Penetapan peserta bagi guru dengan syarat usia dan masa kerja pada point 1 di atas sebenarnya telah diatur dalam ketentuan Pasal 66 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, yang menyebutkan bahwa : “Kriteria sebagai peserta untuk mengikuti sertifikasi guru melalui pola portofolio antara lain guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang belum memiliki kualdikasi akademik 5-1 atau D4 apabila sudah mencapai usia 50 tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 tahun sebagai guru atau mempunyai go/ongan IV/a atau memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/a11. Hal ini diatur lebih lanjut dalam ketentuan Buku 1 Pedoman Penetapan Peserta Sertifikasi Guru (Tahun 2008, 2009, 2010, 2011, dan 2012).

Pemangku kepentingan yang terkait dengan sertifikasi guru yaitu PGRI melalui pengurusnya di daerah juga memberikan pendapat dan saran serta mengharapkan perlu adanya prioritas dan kemudahan yang diberikan kepada guru yang sudah mencapai usia 50 tahun dengan pengalaman kerja lebih dari 20 tahun. Hal ini diperkuat pula oleh Ketua Pengurus Besar PGRI (Pusat) yang menyampaikan bahwa : “Penetapan peserta sertifikasi banyak persoa/an, banyak pungutan, tidak adil terutama bagi mereka yang sudah berusia lanjut dan masa kerja yang relatif lama”(makalah Ketua PB PGRI dalam Rapat Konsinyering 20 April 2012 di Bandung.

Hal lain yang menjadi temuan adalah adanya perilaku koruptif oleh petugas di lapangan berupa praktik “pungutan/penerimaan uang” (meskipun dikatakan secara sukarela) dari para guru sebagai calon peserta kepada petugas yang mengurus pendaftaran dan pengusulan calon peserta. Hal ini terjadi di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota maupun Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota. Penjelasan yang sama juga diperoleh dari hampir semua intansi di daerah yakni Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta Kantor Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota. Praktik pemberian uang dimaksud terjadi karena tidak ada alokasi anggaran yang diperuntukkan bagi pelaksanaan pendaftaran dan pengusulan calon peserta sertifikasi. Sedangkan petugas yang ditunjuk sebagai pelaksana pendaftaran harus bekerja ekstra bahkan bekerja sampai larut malam karena terikat dengan terbatasnya tenggang waktu pendaftaran dan penyampaian nama-nama peserta ditetapkan oleh Kementerian.

  1. Sosialisasi

Temuan investigasi memperoleh fakta

  1. Frekuensi pelaksanaan sosialisasi sertifikasi dirasakan sangat kurang. Hal ini mengakibatkan pemahaman guru tentang ketentuan pelaksanaan sertifikasi tidak cukup memadai, sehingga guru calon peserta sertifikasi tidak mempersiapkan diri secara baik termasuk melengkapi persyaratan sertifikasi yang ditentukan.
  2. Menurut keterangan dari LPTK minimnya sosialisasi disebabkan karena waktu untuk sosialisasi sangat terbatas, tidak adanya anggaran, peraturan teknis (Permendikbud tentang Sertifikasi Guru) yang mengalami perubahan setiap Penjelasan yang sama juga disampaikan oleh pihak LPMP bahwa sosialisasi sangat minim disebabkan tidak adanya anggaran dan berubah­ubahnya peraturan teknis tentang panduan pelaksanaan sertifikasi, serta waktu penerbitan dan penyampaian peraturan teknis tersebut dari Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke daerah sangat berdekatan dengan waktu pelaksanaan sertifikasi.
  3. Keterlambatan penyampaian peraturan teknis dimaksud berdampak pada waktu pelaksanaan sosialisasi yang sangat minim bahkan di daerah tertentu tidak tersosialisasikan sama sekali. Sebagai contoh PeraturanMenteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan diundangkan pada tanggal 10 Maret 2011, namun baru disampaikan ke daerah pada bulan April 2011. Disamping itu petunjuk teknis pelaksanaan sertifikasi pada tahun 2011 diterbitkan bulan April 2011, sehingga tidak dapat disosialisasikan secara balk oleh penyelenggara sendiri maupun kepada calon peserta sertifikasi.
  4. Kendala lainnya dalam sosialisasi adalah kurangnya koordinasi antar instansi terkait (Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota, LPMP, Kantor Kementerian Agama Kabupaten /Kota, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dan LPTK). Kendala tersebut terjadi karena instansi penyelenggara memiliki berbagai tugas pokok lain yang menjadi tanggungjawab instansi masing­masing, selain melaksanakan sertifikasi guru. Hal ini menyebutkan pelaksanaan sertifikasi tidak terkoordinasi dan tersosialisasikan dengan balk.
  5. Penetapan Kuota

Penetapan kuota bagi peserta sertifikasi guru setiap tahunnya sangat terbatas, sehingga target penyelesaian sertifikasi guru pada tahun 2014 tidak akan tercapai sesuai amanat Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, yang menyebutkan “Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada undang-undang ini wajib memenuhi kualifiksi akademik dan sertifikat pendidikan paling lama 10 (sepu/uh tahun) sejak berlakunya undang-undang ini”.

Berikut data penetapan kuota peserta sertifikasi guru dari tahun 2007 s.d 2012:

 

Tabel Kuota Peserta Sertifikasi Guru

Sumber Konsorsium Sergur tahun 2012

Dari tabel di atas diketahui bahwa jumlah kuota peserta sertifikasi dari tahun 2007 s.d tahun 2012 adalah 1.390.450 orang. Dengan demikian rata-rata kuota setiap tahunnya adalah 231.741 orang, sedangkan jumlah guru di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 2.925.676 orang. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah guru yang belum disertifikasi adalah 1.535.226 orang. Jumlah ini tidak mungkin diselesaikan sampai dengan 2014, kecuali jika pada tahun 2013 dan 2014 ditetapkan kuota sebesar 767.604 orang/tahun. Oleh karena itu pemerintah perlu menyiapkan langkah-Iangkah antisipasi bilamana sampai dengan tahun 2014 target sertifikasi guru tidak tercapai secara keseluruhan. Hal ini dapat diantisipasi dengan menyiapkan program lanjutan serta target waktu yang realistis bagi guru yang belum dapat mengikuti sertifikasi sampai dengan tahun 2014.

  1. Uji Kompetensi Awal

Pelaksanaan sertifikasi guru dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 dilakukan meialui penilaian Portofolio dan PLPG tanpa didahului dengan kegiatan Uji Kompetensi Awal (UKA). Namun pada tahun 2012 pemerintah menetapkan kebijakan pelaksanaan sertifikasi guru didahului dengan mengikuti Uji Kompetensi Awal (UKA).

Hal ini menyebabkan permasaiahan bagi guru sebagai berikut :

  1. Peserta sertifikasi menyampaikan keberatan terhadap kebijakan pemerintah yang mempersulit proses pelaksanaan sertifikasi guru dengan memberlakukan UKA sebagai syarat untuk mengikuti sertifikasi guru. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru menyebutkan bahwa uji kompetensi adalah portofollo dan jika tidak lengkap dilakukan melalui PLPG, jadi kebijakan menetapkan/melaksanakan UKA adalah bentuk perbuatan melawan hukum yang merugikan para guru (Maladministrasi).
  2. PGRI selaku pemangku kepentingan telah menyampaikan pendapat dan saran bahwa UKA bukan merupakan persyaratan untuk mengikuti PLPG yang bilamana pesertanya dinyatakan tidak lulus maka tidak dapat menjadi calon peserta sertifikasi seperti yang terjadi pada tahun 2012. Bahwa uji kompetensi sebenarnya dilaksanakan bagi semua guru dan dosen sebagai bahan evaluasi untuk guru/dosen yang bersangkutan, institusi tempat kerja, pemerintah daerah, LPTK, bahan pemetaan dan menetapkan kategorisasi guru berdasarkan kompetensi serta untuk melaksanakan pembinaan bagi profesi, kompetensi, karier dan tugas tambahan lainnya.
  3. Tim memperoleh data/informasi dari guru bahwa pelaksanaan UKA dirasakan memberatkan khusus bagi guru yang sudah berusia di atas 50 (lima puluh) tahun dan mempunyai pengalaman kerja lebih dari 20 (dua puluh) tahun sebagaimana ketentuan Pasal 8 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2012.

Kendala lain yang dialami oieh guru dalam mengikuti UKA adalah materi atau soal ujian yang sulit, sementara waktu ujiannya sangat terbatas. Pelaksanaan UKA juga menjadi kendala bagi guru yang bertugas di daerah “Terpencil, Termiskin dan Terluar (3T)”, serta guru yang sudah berusia lanjut dan akan memasuki masa pension. Demikian pula peserta yang memiliki latar belakang pendidikan bukan S1 atau D-IV banyak yang tidak lulus karena tidak dapat bersaing dengan guru yang tingkat pendidikannya lebih tinggi. Oleh karenanya pemerintah perlu memperhatikan nasib guru tersebut dengan menerbitkan kebijakan yang mempermudah guru dalam mengikuti sertifikasi dan menghapus kebijakan tentang UKA tersebut.

  1. Inkonsistensi Pelaksanaan Sertifikasi Guru

Hasil investigasi Tim Ombudsman memperoleh fakta bahwa pola sertifikasi guru selama ini mengalami perubahan secara terns menerus dari awal pelaksanaan tahun 2006 sampai dengan tahun 2012, yaitu sebagai berikut :

  1. Pada tahun 2006 melalui tes tertulis, self APP dan Portofolio, penilaian sejawat dan tes kinerja.
  2. Pada tahun 2007 dilakukan melalui uji kompetensi dalam bentuk penilaian
  3. Pada tahun 2007 dilakukan melalui uji kompetensi dalam bentuk penilaian
  4. Pada tahun 2009 dilakukan melalui uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio, PLPG dan pemberian sertifikasi pendidik secara langsung (PSPL).
  5. Pada tahun 2010 dilakukan melalui uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio, PLPG dan pemberian sertifikasi pendidik secara langsung (PSPL).
  6. Pada tahun 2011 dilakukan melalui penilaian portofolio, pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG), pemberian sertifikasi pendidik secara langsung (PSPL), dan pendidikan profesi guru.
  7. Pada tahun 2012 dilakukan melalui pola yang sama dengan tahun 2011, namun khusus untuk PLPG diawali dengan Uji Kompetesi Awal (UKA). Peserta yang tidak lulus UKA tidak dapat mengikuti sertifikasi tahun berjalan dan baru dapat diusulkan menjadi peserta sertifikasi tahun berikutnya.

Poia pelaksanaan sertifikasi guru yang setiap tahunnya mengalami perubahan menyebabkan beberapa hal

  1. Ketidakpastian implementasi di lapangan, mengingat peserta dan penyelengara sertifikasi guru harus menyesuaikan dengan pola baru setiap tahunnya, sementara waktu untuk sosialisasi perubahan pola setiap tahunnya sangat kurang atau bahkan buku panduan pelaksanaannya sering teriambat disampaikan kepada penyelenggara sertifikasi guru.
  2. Perubahan pola membutuhkan waktu penyesuaian untuk memahami dan menerapkan peraturan yang baru.
  3. Perubahan pola setiap tahun mengakibatkan kurangnya kesiapan penyelenggara sertifikasi terutama dari sisi perencanaan yang berdampak pada pelaksanaan di lapangan, mengingat kondisi geografis daerah yang berbeda­beda, termasuk juga berdampak pada kesiapan para guru peserta sertifikasi dan instansi terkait lainnya.
  4. Memperhatikan berbagai inkonsistensi pelaksanaan sertifikasi guru di atas, Pemerintah melalui Menteri   Pendidikan dan                Kebudayaan selaku penanggungjawab pelaksanaan sertifikasi guru perlu menghentikan kebijakan/peraturan yang selalu berubah-ubah dan tidak konsisten termasuk pengaturan mekanisme remidi (remidial) bagi peserta sertifikasi yang dinyatakan tidak lulus dalam mengikuti PLPG. Mengingat seiama ini kesempatan yang diberikan bagi guru yang tidak lulus mengulang tiap tahunnya berubah dan tidak konsisten. Sebagai contoh pada tahun 2011 bagi peserta sertifikasi yang tidak lulus diberikan kesempatan mengulang hanya 1 (satu) kali, sementara pada tahun sebelumnya diberikan kesempatan remidial 2 (dua) kali, kemudian pada tahun 2012 remidial dikembalikan menjadi 2 (dua)
  1. Tanggungjawab intansi terkait dalam pelaksanaan Sertifikasi Guru.

Pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan melibatkan beberapa instansi terkait yaitu :

  1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku instansi yang bertanggung jawab atas kebijakan dan regulasi terkait sertifikasi guru selama ini telah berupaya maksimal melakukan perbaikan dengan menerbitkan peraturan menteri serta peraturan teknis lainnya. Akan tetapi masih terdapat berbagai kendala dalam implementasinya, mengingat peraturan dimaksud hampir setiap tahunnya mengalami perubahan bahkan terdapat kebijakan yang tidak konsisten dan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Hal ini memberikan ketidakpastian bagi penyelenggaraan setifikasi guru.

Kendala lainnya juga terkait koordinasi pelaksanaan antar instansi seperti Kementerian Pendidikan Kebudayaan dengan Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan yang terkait dengan anggaran dan pemberian tunjangan profesi guru. Demikian pula antara Kementerian dengan jajaran Dinas Pendidikan di daerah pada tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota. Hal ini diketahui dari hasil temuan Tim Ombudsman bahwa kurangnya koordinasi antara instansi tersebut menyebabkan banyak permasalahan sertifikasi guru yang tidak dapat diselesaikan dengan segera, seperti update data peserta, akomodasi dan distribusi bahan yang terlambat, tidak ada penyelesaian laporan/pengaduan tentang keberatan para guru yang tidak lulus, proses penerbitan Nomor Registrasi Guru (NRG), pelaksanaan penyetaraan/inpassing, dan pembayaran Tunjangan Profesi Guru.

  1. Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG)

Dalam rangka pelaksanaan sertifikasi guru Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membentuk KSG yang tugas utama merumuskan standardisasi proses dan hasil sertifikasi guru, serta meiaksanakan harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan sertifikasi guru.

Beberapa permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan tugas KSG yaitu :

  1. KSG sebagai policy making yang sangat berperan dalam menentukan kebijakan sertifikasi guru, sehingga peran KSG sangat sentral dan strategis. Namun mengingat keanggotaan KSG terdiri dari lintas sektoral, maka terdapat kesulitan dalam koordinasi dan mengambil keputusan yang seharusnya diperiukan untuk mengatasi kendala di lapangan dalam pelaksanaan sertifikasi,
  2. KSG juga berperan dalam menyusun materi ujian, namun dalam pelaksanaannya KSG masih belum maksimal melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan sertifikasi, sebagai contoh materi yang telah diajarkan dalam PLPG tidak sesuai dengan materi ujian, hal ini ditemukan pada saat ujian mata pelajaran biologi di Universitas Negeri Surabaya pada tahun
  3. Hal yang luput dari perhatian KSG adalah jadwal pelaksanaan sertifikasi melalui pola PLPG dengan jalur blok dirasakan sangat padat dan menguras energi. Pelaksanaannya dilakukan selama 10 (sepuluh) hari terhitung mulai pukul 00 sampai dengan pukul 21.00, selain itu para peserta PLPG juga dibebankan untuk membuat makalah atau laporan setelah selesai mengikuti jam pelatihan. Hal tersebut berpengaruh secara fisik maupun mental dalam penyerapan materi juga dalam pelaksanaan ujian. Para guru mengusulkan sebaiknya waktunya PLPG diperpanjang yakni berkisar antara 20 (dua puluh) hari, dengan pengurangan jumlah jam pelatihan setiap hari.
  4. Sampai dengan saat ini kebijakan pelaksanaan sertifikasi belum memperhatikan nasib para guru honorer, oieh karenanya KSG perlu mengambil langkah­Iangkah untuk memberikan kesempatan bagi guru honorer baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta untuk mengikuti sertifikasi guru. Selama ini guru honorer yang mengikuti sertifikasi hanya guru honorer yang mengajar di sekolah swasta yang dikelola oleh yayasan. Hal ini terbukti bahwa dari persyaratan para guru honorer swasta yang akan mengikuti sertifikasi, wajib melampirkan Surat Keputusan dari pihak Yayasan, dengan demikian banyak sekali guru honorer yang tidak mempunyai kesempatan mengikuti sertifikasi guru meskipun mereka telah mengajar dalam waktu yang cukup lama dan memiliki kapasitas yang baik. Kebijakan tersebut bertentangan dengan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Dari ketentuan tersebut sesungguhnya semua guru berhak mengikuti sertifikasi guru.
    1. Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK)

Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai pelaksana Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan yakni melalui MOU dengan dengan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Penyelenggara Pendidikan (BPSDMPP), sementara sebelum tahun 2012 MOU dilakukan antara LPTK dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi.

Dalam penyelenggaraan sertifikasi guru LPTK memiliki peran sangat penting karena menentukan kelulusan peserta, oleh karenanya LPTK dituntut memiliki standar mutu yang menjamin kelulusannya. Namun masih terdapat kekurangan dalam penyelenggaraannya, hal ini dapat dilihat dari temuan Tim Ombudsman di lapangan yaitu :

  1. Jumlah/prosentase ketidaklulusan pada setiap LPTK yang perbedaannya cukup signifikan, sebagai contoh para guru di Kabupaten Ponogoro, Magetan, dan Tulungagung, (Provinsi Jawa Timur) menyampaikan bahwa dalam ujian tertulis pada PLPG Tahun 2011 untuk mata pelajaran Biologi di Universitas Negeri Surabaya (UNESA) jumlah ketidaklulusan mencapai 77 %, sedangkan di Universitas Negeri Malang untuk mata pelajaran Geografi ketidak lulusan sekitar 40 % dan Bahasa Inggris sekitar 55 %.
  2. Prosentase jumlah ketidaklulusan tersebut dapat dijadikan pertimbangan bagi LPTK untuk menjaga kualitas lulusan dan tanggung jawabnya selaku penyelenggara sertifikasi. Para guru justru mempermasalahkan, mengapa hal itu bisa terjadi dan apakah persoalannya terletak pada kemampuan guru atau materi ujiannya yang sulit karena tidak diajarkan pada saat PLPG. Namun demikian menurut Rektor Universitas Negeri Malang, semua rayon LPTK tanpa terkecuali hares tetap menjaga mutu/kualitas lulusan sertifikasi yang Sehingga tidak akan timbul kesan bahwa kalau mengikuti PLPG di Universitas tertentu, pasti akan lulus semua dan begitu juga sebaliknya.
  3. Menurut LPTK pelaksanaan PLPG selama 10 (sepuluh) hail dengan 90 Jam Pelajaran dengan materi yang cukup padat, selain masih diberi tambahan tugas kelompok. Akhirnya membuat guru peserta PLPG lelah baik secara fisik maupun mental. Justru pada pemberian materi PLPG 2011 yang menyangkut konten hanya 6 jam pelajaran kondisinya jauh lebih balk, selain itu, dari hasil investigasi, diperoleh data yang menyebutkan bahwa penyebab ketidaklulusan guru dalam PLPG disebabkan kurangnya nilai pada Ujian Tertulis ujian dimana nilai ujian dipersyaratkan adalah > 60,00. Soal dan nilai Ujian Tertulis sepenuhnya adalah tanggung jawab Konsorsium Sertifikasi Guru.
  4. Dalam hal anggaran, bahwa biaya yang dianggarkan untuk pelaksanaan sertifikasi sebesar Rp. 2.500.000,- per peserta adalah sangat tidak memadal pada kondisi saat ini. Anggaran yang terbatas tersebut menyulitkan penyelenggara untuk menyediakan akomodasi dan konsumsi yang layak untuk peserta. Akibatnya penyelenggara menetapkan lokasi tempat menginap peserta jaraknya jauh dari tempat penyelenggaraan Hal ini antara lain terjadi pada pelaksanaan PLPG di Universitas Negeri Surabaya, karena penyeienggara harus mencari tempat akomodasi yang biayanya murah.
    1. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP)

Salah satu tugas utama LPMP adalah menetapkan besaran kuota kabupaten/kota dan melakukan verifikasi data. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi dalam melakukan tugas dan fungsi dalam proses sertifikasi guru hanya melakukan pekerjaan yang sudah dilakukan oleh Dinas (pengulangan), yaitu melakukan verifikasi data. Sejauh ini LPMP seolah-olah hanya dimintai bantuan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk melakukan sosialisasi, mereka diundang sebagai narasumber bukan berdasarkan program sendiri.

LPMP adalah lembaga strategis yang memiliki somber daya untuk membantu pelaksanaan sertifikasi guru, namun selama ini justru LPMP belum difungsikan secara maksimal untuk membantu pelaksanaan sertifikasi guru. Dari hasil investigasi ditemukan bahwa LPMP selama ini kurang diberdayakan karena kewenangannya yang terbatas dan tidak didukung dengan anggaran yang memadai. Dari temuan di lapangan, selama ini para guru memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada LPMP dibandingkan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota, sebagaimana disampaikan para guru kepada Tim Ombudsman. Oleh karena itu, penguatan LPMP dalam hal kewenangan dan anggaran sudah selayaknya dipertimbangkan dalam membantu meningkatkan kualitas program sertifikasi guru tersebut.

  1. Dinas Pendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota

Dalam penyelenggaraan sertifikasi guru Dinas Pendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota membentuk Panitia Sertifikasi Guru (PSG) tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang secara teknis bertugas melakukan fungsi administrasi yaitu dari pendataan talon peserta, melakukan verifikasi data peserta, koordinasi dengan instansi terkait, memfasilitasi kegiatan panitia sertifikasi guru di divas pendidikan kabupaten/kota dan mengkoordinasikan persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut sertifikasi guru dengan LPTK rayon yang ditunjuk.

Tanggungjawab Dinas Pendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota sangat strategis, namun pada kenyataannya masih terdapat kendala seperti tidak maksimal melakukan sosialisasi, sehingga banyak guru-guru yang tidak tahu secara utuh mengenai materi sertifikasi guru. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu bagi Dinas bersangkutan melaksanakan sosialisasi

  1. Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.

Pada prinsipnya tugas Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota dalam menyelenggaraan sertifikasi guru hampir sama dengan tugas yang dilakukan Dinas Pendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Namun masih terdapat beberapa kendala seperti in put data calon peserta masih menggunakan sistem manual sehingga mengalami kesulitan dalam up date data peserta. Penerbitan NRG khusus bagi guru di lingkungan Kementerian Agama masih dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hal ini memperlambat administrasi. Oleh karenanya penerbitan NRG sebaiknya dilakukan sendiri oleh Kementerian Agama, mengingat hal ini pernah pula dilakukan sebelumnya.

  1. Pemberian Tunjangan Profesi Guru dan Kendala Dalam Pelaksanaannya.
  2. Mekanisme pemberian Tunjangan Profesi Guru

Pemberian tunjangan profesi guru berdasarkan instansi penyelenggara dibedakan antara guru di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan guru di lingkungan Kementerian Agama.

Pemberian tunjangan profesi guru di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dibedakan antara guru swasta dengan guru negeri. Bagi guru swasta pemberian/pembayaran tunjangan profesi dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi, sedangkan bagi guru negeri pembayaran tunjangan profesi dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Data di lapangan menunjukkan proses ini menghambat kelancaran pemberian tunjangan, sehingga sebaiknya pemberian tunjangan bagi guru balk swasta maupun negeri cukup dilakukan oleh satu instansi saja dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Adapun pemberian tunjangan sertifikasi guru bagi guru swasta maupun guru negeri di Iingkungan Kementerian Agama dilakukan sepenuhnya oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.

  1. Kendala dalam Pelaksanan Pembayaran

Pada kenyataannya pembayaran tunjangan sertifikasi guru hampir selalu mengalami keterlambatan. Sebagian besar guru yang telah dinyatakan lulus sertifikasi belum menerima tunjangan, bahkan terdapat guru yang sudah hampir 2 (dua) tahun lulus sertifikasi namun belum menerima tunjangan profesi, meskipun yang bersangkutan telah memenuhi segala persyaratan.

Beberapa kendala yang terkait dengan pembayaran tunjangan profesi guru adalah sebagai berikut :

  1. Nomor Registrasi Guru (NRG)

Masih terdapat kendala terhadap guru di lingkungan Kementerian Agama yang telah lulus Sertifikasi/PLPG namun belum memperoleh NRG karena masih menunggu penerbitannya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Proses penerbitan NRG tersebut membutuhkan waktu lama dengan birokrasi yang berbelit-befit.

Pada saat penerbitan NRG, guru tidak langsung dibayarkan tunjangannya karena sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Pembayaran Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, yang menyebutkan : “Tunjangan Prates/ Guru diberikan terhitung mutat Evian Januar’ tahun berikutnya setelah yang bersangkutan mendapatkan Nomor Register Guru dari Kementerian Pendidikan Nasionalm.

Sebagai contoh, pada tahun 2011 NRG guru yang berada di bawah Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur belum diterbitkan, sehingga terlambat dalam menerima tunjangan profesi yang menjadi hak guru. Padahal dana tunjangan profesi sudah tersedia di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) setempat. Akibat dari penerbitan NRG yang dilakukan secara bertahap dan tidak berkesinambungan dengan kata lain “dicicil” merugikan guru karena tertunda memperoleh tunjangan yang menjadi haknya.

Hal ini menunjukkan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak serius dalam mengurus penerbitan NRG bagi guru di lingkungan Kementerian Agama. Sebaiknya penerbitan NRG bagi guru di lingkungan Kementerian Agama dapat langsung diterbitkan oleh Kementerian Agama karena secara kelembagaan dan struktural Kementerian Agama sudah memiliki Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Islam (Pendis) yang memiliki tugas pokok melaksanakan administrasi guru, seperti Direktorat Pendidikan Islam Pada Sekolah (Ditjen PAIS), Madrasah, Diktis dan Pendidikan Diniyah, Pontren. Bahkan tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 Kementerian Agama pernah menerbitkan NRG sendiri dan dalam kenyataannya hal tersebut dapat dilakukan dengan balk dan berjalan lancar.

  1. Jam Mengajar

Pemberian tunjangan sertifikasi guru terkendala karena persyaratan jam mengajar selama 24 jam/minggu. Guru yang telah lulus sertifikasi wajib mengajar pelajaran secara tinier (mata pelajaran yang sama) selama 24 jam/minggu, tentunya hal itu sangat menyulitkan untuk dilaksanakan, terutama untuk mata pelajaran yang jam pelajarannya terbatas seperti Olah Raga, Kesenian, Agama Islam, dan Bahasa Inggris.

Untuk memenuhi jam mengajar 24 jam/minggu disatu sekolah sulit dipenuhi, bahkan di sebagian sekolah hal itu tidak mungkin dilakukan. Sementara bagi guru yang ingin mengajar di sekolah lain untuk memenuhi jam mengajar tidak mudah dilakukan, mengingat kesulitan menemukan sekolah yang lowong mata pelajaran tinier tersebut. Apalagi kalau di daerah terpencil, hal tersebut tidak akan mudah terpenuhi karena terbatasnya jumlah sekolah.

Menurut guru, ketentuan mengajar 24 jam/minggu sangat menyulitkan karena guru harus mencari-cari jam pelajaran di sekolah lain. Hal tersebut sangat menyedihkan bahkan diakui sendiri oleh seorang guru di Kabupaten Malang yang terang-terangan mengakui demi untuk memenuhi 24 jam/minggu harus “kongkalingkong” dengan Kepala Sekolah lain hanya untuk mendapatkan 5K mengajar di sekolah tersebut. Tindakan ini, dilakukan juga oleh guru di Provinsi Riau, Provinsi Jawa Tengah yaitu sibuk mencari jam pelajaran ke sekolah lain. Akibatnya guru tidak konsentrasi meningkatkan kemampuannya, tetapi dengan berbagai cara mencari kesempatan untuk memenuhi target 24 jam mengajar seminggu. Guru mengusulkan bilamana ketentuan 24 jam/minggu untuk mata pelajaran linier tersebut tidak dapat dipenuhi, maka diberikan kesempatan untuk mengajar pada mata pelajaran lain yang sesuai dengan kemampuan guru bersangkutan.

Disamping itu, guru juga mengusulkan agar ketentuan jam mengajar 24/minggu dirubah/diturunkan menjadi 18 jam pelajaran/minggu. Hal ini disebabkan karena guru tidak hanya bertugas mengajar, melainkan mereka juga harus mendidik, membimbing dan membina para siswanya, sehingga ada kesempatan bagi guru mengalokasikan waktu untuk mendidik, membimbing dan membina para siswanya tersebut. Bahkan secara ekplisit guru mengakui, “kami ini dipaksa oleh sistem untuk menipu, sebenarnya guru mengajar tidak sampai 24 jam pelajaran, karena sebagai syarat untuk memenuhi tuntutan persyaratan pencairan tunjangan sertifikasi, maka akhirnya segala cara dilakukan.”

  1. Pembayaran Tunjangan Tidak Penuh dan Pengajuan Impasing.

Kendala lain yang dialami dalam pembayaran tunjangan profesi di tahun 2010 dan 2011 adalah tidak dibayarkannya secara penuh untuk 12 bulan. Rata-rata masih terdapat kekurangan pembayaran selama 1-2 bulan, hal itu dilaporkan oleh hampir seluruh guru. Sehingga guru menuntut dan mengharapkan agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama dapat membayarkan kekurangan pembayaran tunjangan. Tim Ombudsman telah pula meminta penjelasan/klarifikasi dari jajaran Kementerian Keuangan mengenal kekurangan pembayaran tunjangan dan memperoleh informasikan bahwa Kementerian Keuangan telah mentransfer tunjangan sertifikasi tahun 2010 dan 2011 penuh untuk 12 bulan.

Dalam praktek di lapangan pemberian tunjangan sertifikasi diberikan bervariasi, ada yang diberikan 3 (tiga) bulan sekali, ada yang 6 (enam) bulan sekali dan ada juga yang dibayarkan 1 (satu) tahun sekali bahkan 2 (dua) tahun sekali. Seharusnya pembayaran tunjangan profesi guru dapat dibayarkan tepat waktu dan tepat jumlah serta dapat dibayarkan setiap bulannya bersamaan gaji atau paling tidak di tiap akhir bulan berjalan. Saat ini Kementerian Keuangan sedang mengupayakan pembayaran tunjangan dilakukan secara reguler per 3 (bulan) dan belum dapat dilakukan pembayaran per bulan, mengingat jumlah guru serta keterbatasan keuangan negara.

Guru swasta juga melaporkan tentang tidak diterimanya tunjangan profesi sebesar 1 (sate) kali gaji pokok seperti yang diterima oleh guru PNS, sehingga mengajukan impassing/penyesuaian untuk memperoleh hak yang sama dengan guru PNS. Sampai dengan waktu pelaksanaan investigasi oleh Tim Ombudsman diperoleh data bahwa guru swasta baru mendapatkan tunjangan sebesar Rp. 1.500.000,-/bulan. Guru swasta melaporkan SK Impassing yang diajukan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sangat lambat, rumit serta bertele-tele. Bahkan sampai diurus sendiri dengan cara datang ke Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta itupun belum juga terselesaikan. Sebagai gambaran bahwa guru swasta sudah mengajukan impassing selama dua tahun, namun belum memperoleh persetujuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini semakin menunjukan birokratisasi impassing sangat menghambat dan merugikan guru swasta.

  1. Pembinaan Profesi Guru Pasca Sertifikasi

Pengertian pembinaan Profesi Guru

Yang dimaksud dengan pembinaan profesi guru adalah : tindakan dan kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh hasll yang lebih balk guna memiliki Tatar be/akang pendidikan keguruan yang memadai dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan yang diperoleh sete/ah menempuh pendidikan keguruan tertentu.

Dan hasil kajian dapat disimpulkan bahwa pembinaan sebagaimana yang ada pada definisi “pembinaan” di atas belum dipikirkan secara serius oleh para pemangku kepentingan, khususnya bagi para guru yang sudah lulus sertifikasi, sehingga dampak dan perubahan kualitatif dalam proses belajar mengajar di kelas yang berdampak bagi siswa didik juga belum bisa dipastikan peningkatan kualitasnya.

Dalam kerangka dikeluarkannya kebijakan sertifikasi guru/pendidik, yang sesungguhnya bertujuan meningkatkan kualitas guru dan mutu pendidikan. Untuk mengetahui sejauh mana upaya ini berhasil, maka perlu dilakukan suatu proses asesmen dan investigasi yang bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pembinaan profesionalisme guru pasca sertifikasi guru dalam jabatan dan model pembinaannya. Hasi] investigasi yang dilakukan sejauh ini dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa kompetensi guru yang dinilal tinggi adalah :

  1. Pertama, kompetensi paedagogik, meliputi : (1) menguasai teori belajar dan prinsip­prinsip pembelajaran yang mendidik, (2) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu, dan (3) menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik.
  2. Kedua, kompetensi kepribadian, meliputi: menghargai peserta didik tanpa membedakan keyakinan yang dianut, suku, adat istiadat, daerah, asal, dan gender.
  3. Ketiga, kompetensi sosial, meliputi: beradaptasi dengan lingkungan tempat bekerja dalam rangka meningkatkan efektifitas sebagai pendidik.
  4. Keempat, kompetensi profesional, meliputi: (1) menguasal standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu, dan (2) mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif.

Sedangkan kompetensi guru yang penilaiannya rendah adalah :

  1. Pertama, kompetensi paedagogik, meliputi: memfasilitasi pengembangan potensi anak didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
  2. Kedua, kompetensi kepribadian, meliputi: bekerja mandiri secara profesional.
  3. Ketiga, kompetensi sosial, meliputi: berkomunikasi dengan teman sejawat dan komunitas ilmiah secara santun, empatik, dan efektif.
  4. Keempat, kompetensi profesional: (1) mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif, dan (2) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri (Ngabiyanto; 2011).

Tugas guru sebagai pengajar dijabarkan dalam Pasal 52 ayat (1) dan (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, menyebutkan sebagai berikut :

  • “Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok : merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran; dan membimbing dan melatih peserta didik; dan melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kola guru’.
  • “Beban kerja Guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satu atau leblh satuan pendidikan yang memlliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah’:

Selanjutnya beban kerja guru harus memenuhi 24 jam/minggu sebagaimana diatur di dalam Pasal 63 ayat (2) Peraturan Pemerintah tersebut yang berbunyi: “Guru yang tidak dapat memenuhi kewajiban melaksanakan pembelajaran 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan tidak mendapatkan pengecualian dari Menten; dihilangkan haknya untuk mendapat tunjangan profesi, tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional dan maslahat tambahan”.

Belum adanya mekanisme sistem “Resertifikasi” atau semacam evaluasi reguler dan sejenisnya, sehingga apakah guru yang telah tersertifikasi dan telah berlangsung beberapa waktu masih “layak” untuk tetap mengajar atau tidak. Sebagaimana yang telah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa dalam masa awal proses pelaksanaan sertifikasi ini tampaknya sistem pendataan belum terbangun dengan baik. Untuk itu, diperlukan sistem pendataan yang akurat, mudah diakses dan mudah di-update.

Oleh karena itu, sistem pendataan ini perlu disusun di tingkat daerah (Sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, LPMP dan LPTK), yang selanjutnya menjadi bangunan sistem pendataan di tingkat pusat (Ditjen DIKTI dan PMPTK). Model asesmen dan investigasi yang dikembangkan berdasarkan fokus yang telah ditentukan yaitu model pembinaan guru pasca sertifikasi meliputi kompetensi profesional, kepribadian, pedagogik, dan sosial. Pada tahap pertama akan menghasilkan model pembinaan guru pasca sertifikasi untuk guru sekolah dasar dan pendidikan menengah pertama.

Dalam rangka Pembinaan tersebut, Tim Ombudsman berpendapat bahwa regulasi dalam hal evaluasi terkait kemampuan guru menjadi guru/pendidik yang tersertifikasi secara berjenjang dan terprogram harus dipersiapkan sejak sekarang. Meskipun demikian, agar evaluasi yang diiakukan dan dilaksanakan terprogram tersebut tidak menimbulkan resistensi, maka sebaiknya tidak secara langsung berimplikasi pada penerimaan tunjangan sertifikasi guru sebagaimana yang sudah selama ini mereka terima. Hal tersebut secara psikologis untuk menghindari kekhawatiran/kerisauan/ketakutan dari guru/pendidik dalam merespon pelaksanaan evaluasi dimaksud di satu sisi, sedangkan di sisi lain ada kebutuhan bagi pemerintah untuk melakukan pemetaan atag kemampuan kapasitas guru/pendidik yang sudah tersertifikasi tersebut dalam rangka pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan saat ini dan yang akan datang. Oleh karena itu, evaluasi dalam rangka menjaga kualitas guru/pendidik tetap diperlukan dalam waktu segera, disisi lain terjaminnya tunjangan sertifikasi yang menopang kesejahteraan guru/pendidik yang tersertifikasi tidak bisa dikesampingkan, dengan demikian rencana “pembinaan” tetap bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan tingkat kesejahteraan guru/pendidik yang sudah lulus sertifikasi.

  1. Penanganan guru yang tidak lulus Sertifikasi

Hasil temuan obyek yang telah di lakukan oleh Tim Ombudsman memperoleh data bahwa masih banyak guru yang tidak lulus sertifikasi. Beberapa alasan yang menjadi faktor penyebab ketidaklulusan guru dalam mengikuti sertifikasi adalah :

  1. Kurangnya Transparansi Hasil Ujian

LPTK selaku penyelenggara sertifikasi beium menyediakan secara lengkap dan transparan pemberian informasi nilai hashl ujian bagi peserta yang tidak lulus sertifikasi. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi peserta yang ingin melihat hasil ujiannya, mengingat mekanisme tersebut tidak diatur secara eksplisit di dalam peraturan perundang-undangan maupun petunjuk pelaksana serta petunjuk teknis pelaksanaan sertifikasi guru.

  1. Belum Adanya Mekanisme Pengajuan dan Penyelesaian keberatan

Disamping kurangnya transparansi, LPTK belum memiliki mekanisme pengajuan dan penyelesaian keberatan bagi peserta sertifikasi yang tidak lulus ujian. Dalam prakteknya guru yang tidak lulus ujian mengajukan keberatan kepada LPMP dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, pada hal instansi dimaksud tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan lulus tidaknya peserta sertifikasi.

LPTK selaku penyelenggara sertifikasi hanya menjelaskan secara lisan kepada guru dan menunjukkan dokumen hasil ujian dan umumnya menyarankan kepada peserta untuk mengikuti ujian ulang, hal ini dilakukan oleh LPTK bilamana terdapat peserta yang mengajukan keberatan terhadap pelaksanaan sertifikasi.

  1. Mekanisme ujian ulang

Terhadap peserta yang dinyatakan tidak lulus sertifikasi dan telah mengalukan keberatan, akan tetapi ternyata tidak lulus, maka sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan diberikan kesempatan untuk mengulang. Oleh karenanya LPTK membantu memberikan informasi tentang mekanisme ujian ulang dan arahan bagi peserta untuk lebih menyiapkan diri untuk mengikuti ujian ulang.

Berdasarkan temuan Tim Ombudsman diketahui bahwa kebijakan ujian ulang berubah ubah, sebagai contoh pada tahun 2010 ujian ulang dilaksanakan sebanyak 2 (dua) kali, sementara ditahun 2011 dilaksanakan hanya 1 (satu) kali, namun kemudian kebijakan tersebut berubah lagi menjadi 2 (dua) kali di tahun 2012. Dampak dari kebijakan ujian ulang yang berubah-ubah tersebut menimbulkan ketidakpastian dan kecemburuan bagi peserta yang hanya diberikan kesempatan mengikuti sertifikasi selama 1 (satu) kali,

  1. Ketidak siapan LPTK

Beberapa perguruan tinggi selaku penyelenggara sertifikasi guru yang menjadi obyek yang telah di investigasi Ombudsman yaitu Universitas Negeri Riau, Universitas Islam Sultan Syarif Kasim, Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Negeri Semarang dalam keterangannya menyatakan bahwa belum ada mekanisme baku untuk menampung, menindaklanjuti dan menyelesaikan laporan/pengaduan apabila ada guru peserta sertifikasi yang tidak lulus. Sementara ini hanya inisiatif clad masing-masing LPTK yang sifatnya sporadis dan apa adanya, melalui komunikasi dan berusaha memfasilitasi guru yang keberatan dan kecewa karena tidak lulus ujian sertifikasi. Ketiadaan mekanisme penyelesaian penanganan laporan/pengaduan ini, terutama dirasakan betul bagi guru yang tidak lulus ujian tertulis PLPG 2011 di Unesa untuk bidang studi Biologi dan bidang studi Bahasa Inggris di Universitas Negeri Malang. Implementasi Permendikbud, khususnya pelaksananaan PLPG cukup variatif atau berbeda antara LPTK satu dengan LPTK lain. Hal ini menjadi pertanyaan bagi peserta yang tidak lulus. PGRI mempertanyakan bagaimana standarisasinya, pengawasannya, sehingga kemudian ada dugaan bahwa LPTK menetapkan standar kelulusan yang menyulitkan guru.

Prioritas bagi guru yang tidak lulus sertifikasi dengan mempertimbangkan usia dan masa kerja. Dari hasil temuan Tim Ombudsman memperoleh fakta bahwa guru yang dari segi usia sudah lanjut atau yang memasuki masa pensiun biasanya kalah bersaing dengan yang lebih muda, sementara dari masa kerja para guru tersebut rata-rata lebih dari 20 tahun. Oleh karena itu perlu ada upaya afirmasi atau kebijakan tertentu dalam rangka memberikan prioritas bagi guru dimaksud. Misalnya dalam hal prioritas mengikuti ujian ulang sertifikasi atau dispensasi lain dengan mengingat usia serta masa kerja para guru

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan.

Berdasarkan analisis data diatas terkait penyelenggaraan sertifikasi guru, penulis memperoleh kesimpulan sebagai berikut :

  1. Program sertifikasi guru diharapkan pemerintah dapat mengatasi permasalahan kualitas pendidikan da kinerja guru akan meningkat.
  2. Tunjangan profesi pendidik (TPP) merupakan bentuk tunjangan yang diberikan kepada guru agar dapat meningkatkan kinerja profesinya.
  3. Terdapat berbagai permasalahan terkait dengan pelaksanaan sertifikasi guru yaitu sejak awal pendaftaran calon peserta, penetapan peserta, penetapan kuota dan uji kompetensi awal. Dalam hal pendaftaran calon peserta sertifikasi masih terdapat berbagai kekurangan yaitu pendaftaran calon dengan menggunakan sistem online masih belum menghasilkan data yang valid, karena tidak didukung dengan update data calon peserta yang akurat.
  4. Masih terdapat perbedaan sistem pendaftaran peserta sertifikasi guru antara Kementerian Pendidikan dan kebudayaan dengan Kementerian Agama. Hal ini disebabkan karena Kementerian Agama belum sepenuhnya menggunakan sistem online, sehingga mengalami kesulitan dalam pendaftaran calon peserta. Khusus di Kementerian Agama masih terdapat perbedaan perlakuan antara guru yang mengajar di sekolah tertentu dengan guru yang mengajar pada sekolah umum, termasuk perbedaan dari segi usia guru yang mengikuti sertifikasi.
  5. Innplennentasi pelaksanaan sertifikasi guru model portofolio tidak diterapkan secara konsisten, dalam hal penetapan peserta sertifikasi guru yang berusia 50 tahun ke atas atau menjelang pension dan guru yang memiliki masa kerja lebih dari 20 tahun dengan calon peserta yang usia lebih muda dan masa kerja lebih sedikit.
  6. Dalam penetapan peserta sertifikasi masih ditemukan praktek “pemberian uang” (meskipun secara sukarela) clari guru sebagai calon peserta kepada petugas yang mengurus pendaftaran dan pengusulan calon peserta. Hal ini diakibatkan karena tidak adanya anggaran bagi petugas Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota serta Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota dalam proses administrasi pendataan dan penetapan calon peserta
  7. Terkait dengan sosialisasi pelaksanaan sertifikasi guru masih kurang dan belum maksimal, hal ini disebabkan karena kurangnya koordinasi antara instansi terkait dan buku panduan pelaksanaan sertifikasi guru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang setiap tahun berubah-ubah dan terlambat disampaikan ke instansi pelaksana di daerah.
  8. Jumlah kuota peserta sertifikasi dari tahun 2007 s.d tahun 2012 adalah 1.390.450 Penetapan kuota tersebut diperkirakan tidak akan terpenuhi pada tahun 2014, mengingat jumlah guru di seluruh Indonesia sampai hari ini tercatat 2.925.676 orang, Ini menunjukkan bahwa jumlah guru yang belum disertifikasi adalah 1.535.226 orang.
  9. Kebijakan sertifikasi guru yang didahului dengan penerapan Uji Kompetensi Awal (UKA) pada tahun 2012 merupakan penyimpangan/bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 dan prakteknya memberatkan guru dan dianggap kesan pemerintah sengaja mempersulit proses pelaksanaan sertifikasi Selain itu materi atau soal UKA yang sangat sulit sementara waktu ujiannya sangat terbatas. Pelaksanaan UKA tanpa mempertimbangkan kondisi para guru yang bertugas di daerah Terpencil, Termiskin dan Terluar (3T), serta guru yang sudah berusia lanjut dan akan memasuki masa pensiun serta memiliki latar belakang pendidikan di bawah persyaratan yang ditentukan.
  10. Kebijakan pola sertifikasi guru dari awal pelaksanaan tahun 2006 sampai dengan tahun 2012 setiap tahunnya mengalami perubahan. Hal ini menyebabkan ketidakpastian implementasi di lapangan, perubahan pola membutuhkan waktu penyesuaian untuk memahami dan menerapkan peraturan yang baru dan waktu untuk sosialisasi yang sangat terbatas sehingga berdampak pada pelaksanaan di lapangan.
  11. Penyelenggara sertifikasi kurang memperhatikan jadwal pelaksanaan PLPG yang sangat padat dan materi ujian yang sulit, hal tersebut mempengaruhi fisik maupun mental peserta sertifikasi dalam penyerapan materi dan pelaksanaan ujian.
  12. LPMP merupakan lembaga yang relatif dipercaya oleh guru untuk membantu melaksanakan sertifikasi guru, akan tetapi LPMP tidak difungsikan secara optimal padahal LPMP adalah iembaga strategis yang memiliki sumber daya manusia serta sarana dan prasarana yang memadal untuk meningkatkan mutu tenaga pendidik.
  13. Tingkat kelulusan setiap LPTK berbeda-beda pada hal setiap LPTK memiliki pedoman yang sama dalam pelaksanaan sertifikasi. Prosentase jumlah ketidaklulusan tersebut dapat dilihat sebagal pertimbangan setiap LPTK untuk menjaga kualitas kelulusan dan tanggung jawabnya selaku penyelenggara
  14. Koordinasi pelaksanaan sertifikasi guru dalam hal evaluasi dan penyelesaian permasalahan secara komprehensif pada tingkat nasional yaltu antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Agama, termasuk antara pusat dengan daerah belum efektif.
  15. Pada tahap pembayaran tunjangan sertifikasi guru, keterlambatan serta ketidaksesuaian jumlah tunjangan yang dibayarkan/ditransfer masih menjadi keluhan rutin yang dialami oleh para guru penerima tunjangan sertifikasi. Hal ini disebabkan tidak sinkronannya koordinasi dan regulasi diantara beberapa Kementerian terkait, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan.
  16. Pembayaran tunjangan yang dilakukan melalui pemerintah kabupaten/kota selama ini belum berjalan lancar, hal ini disebabkan karena transfer anggaran yang terlambat dari pusat ke daerah dan pembayaran dari daerah kepada para guru masih juga mengalami keterlambatan. Ketersediaan anggaran yang terbatas menjadi alasan Kementerian Keuangan untuk mengambil kebijakan pembayaran tunjangan guru secara berkala per triwulan dan belum bisa dilakukan setiap bulan bersamaan dengan pembayaran gaji bulanan para guru.
  17. Keterlambatan pembayaran tunjangan bagi guru yang berada di lingkungan Kementerian Agama disebabkan antara lain karena keterlambatan penerbitan NRG yang hanya dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  18. Mekanisme impassing/penyesuaian pembayaran tunjangan khusus bagi gur swasta belum berjalan, laporan/pengaduan mengenai impassing sampai saat belum memperoleh penyelesaian yang memuaskan.
  19. Administrasi Nomor Registrasi Guru sebagai salah satu persyaratan memperoleh tunjangan bagi guru yang telah lulus sertifikasi masih memerlukan waktu yang lama karena hanya dilakukan oleh satu kementerian yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pada hal terdapat guru yang berada di lingkungan Kementerian Proses penerbitan NRG yang memakan waktu lama khususnya bagi guru di lingkungan Kementerian Agama bertentangan dengan prinsip-prinsip pelayanan publik yang balk.
  20. Keberlanjutan program sertifikasi guru dan mekanisme penyampaian laporan/pengaduan program sertifikasi guru pasta lulus ujian sertifikasi belum secara sistematis direncanakan dan menjadi program baku oleh instansi penyelenggara atau penanggung jawab sertifikasi guru dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama. Hal ini penting dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu guru sebagaimana tujuan penyelenggaraan sertifikasi guru.
  21. LPTK yang ditunjuk selaku penyelenggara sertifikasi tidak memiliki standar baku tentang penyiapan mated muatan lokal, standarisasi penilaian. Belum ada mekanisme penyelesaian laporan/pengaduan bagi guru yang menyampaikan keberatan atas penyelenggaraan sertifikasi guru pada semua instansi penyelenggara baik dalam tahapan pendataan, pendaftaran peserta, penyelenggaraan ujian maupun laporan/pengaduan mengenai ketidakiulusan.
  22. Belum adanya peraturan yang mengatur mengenai guru honorer yang telah mengabdi sebagai guru dalam jangka waktu lama seperti telah mengabdi selama 10 tahun ke atas untuk memperoleh kesempatan mengikuti sertifikasi guru.
  23. Perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui apakah program tersebut dilakukan sesuai dengan yang direncanakan. Karenanya peneulisan ini dilakukan untuk mengetahui dampak pemberian tunjangan sertifikasi terhadap kinerja guru dan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi guru dalam meningkatkan kinerjanya
  24. Bahwa program sertifikasi Guru dalam jabatan akan melahirkan tenaga pendidik yang profesional menghasilkan proses dan hasil pendidikan yang bermutu dalam rangka mewujudkan insan Indonesia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah, diindikasikan dengan keimanan, ketaqwaan, aklak mulia, kesehatan, kecerdasan, kreatifitas, kemandirian, kecakapan dan daya saing.
  25. Bahwa Tunjangan Sertifikasi Guru dalam Jabatan di Indonesia, sangat berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kinerja guru yang memuaskan dan memberikan hasil yang optimal terhadap pencapaian tujuan organisasi.

 

  1. Saran-saran

Saran-saran bagi :

  1. Tenaga pendidik :
  • Meningkatkan kualifikasi akademik melalui pendidikan lanjutan.
  • Lebih intensif dalam mengeksplorasi model-model pembelajaran yang sifatnya inovatif.
  • Pemanfaatan media dalam pembelajaran
  • Partisipasi dalam forum-forum pendidikan.
  1. Lemabaga satuan pendidikan :
  • Mengupayakan fasilitas sesuai dengan kebutuhan minimal proses pembelajaran dengan (standar minimal pendidikan).
  • Pemberdayaan kelompok Guru (KKG, MGMP, KKS, KKM).
  1. Bagi Instansi terkait :
  • Melakukan perbaikan mekanisme dan prosedur sertifikasi guru yaitu sejak awal pendaftaran calon peserta, penetapan peserta, penetapan kuota, pelaksanaan ujian dan penentuan kelulusan, sehingga tidak terjadi perbeclaan daiam sistem pendaftaran peserta sertifikasi guru antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Agama.
  • Menghentikan kebijakan pola/sistem sertifikasi guru yang berubah-ubah setiap tahunnya dengan membuat peraturan yang bersifat definitif, sehingga memberikan kepastian bagi peserta dan penyelenggara serta dalam rangka kebutuhan untuk melakukan sosialisasi menjadi lebih longgar waktunya.
  • Melakukan perubahan pola penyeienggaraan dan pelaksanaan PLPG yang lebih terencana dengan balk dan mempertimbangkan kondisi para guru, mengingat selama ini yang dialami para peserta PLPG adalah ketersediaan waktu yang sangat terbatas, padat dan materi ujian yang sulk hal tersebut mempengaruhi fisik maupun mental peserta sertifikasi dalam penyerapan materi dan pelaksanaan ujian.
  • Menerbitkan Regulasi dan Standar Operasional Prosedur (SOP) bagi peserta sertifikasi yang tidak lulus ujian, dengan mempertimbangkan aspek transparansi dan akuntabilitas, sehingga laporan/pengaduan yang terjadi dapat terselesaikan secara bark dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
  • Menyederhanakan mekanisme pembayaran/transfer tunjangan profesi guru, sehingga memberikan kepastian dalam hal waktu dan jumlah tunjangan yang menjadi hak guru.
  • Melakukan penguatan terhadap Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dengan memberikan kewenangan dan anggaran yang memadai terkait pelaksanaan sertifikasi guru, untuk memberdayakan LPMP dalam membantu sosialisasi, verifikasi dan pengembangan/pembinaan profesi guru pasca sertifikasi.
  • Memberikan prioritas bagi guru yang akan memasuki usia pensiun (50 tahun ke atas) dan telah mengabdi lebih dari 20 tahun untuk mendapatkan kesempatan mempero[eh sertifikat pendidik melalui mekanisme dan proses yang secara khusus
  • Menyederhanakan persyaratan dan prosedur impassing bagi guru non PNS, sehingga setiap guru non PNS yang sudah lulus ujian sertifikasi memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan tunjangan profesi yang disetarakan dengan guru PNS.
  • Menyediakan anggaran yang memadai bagi penyelenggara khususnya pegawai di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota yang melakukan pekerjaan teknis administratif sertifikasi guru (memasukkan data dan verifikasi berkas calon peserta sertifikasi). Hal ini untuk menghindari praktek “KKN” dan tidak menyulitkan peserta dan petugas di iapangan dengan mempertimbangkan tingkat kemahalan di daerah masing-masing.
  • Memperbanyak kuota peserta pada tahun 2013 dan 2014 agar target sertifikasi untuk semua guru pada tahun 2014 (vide Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen) dapat tercapai, serta menyiapkan program pembinaan yang berkesinambungan pasca lulus sertifikasi sehingga guru memiliki kemampuan yang dapat diandalkan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
  • Melakukan standardisasi dan pengawasan bagi LPTK penyelenggara sertifikasi agar dapat memenuhi target kelulusan dan mutu lulusan sesuai yang diharapkan, sehingga tidak ada kesenjangan antara LPTK Negeri dengan LPTK Swasta sebagaimana yang selama ini terjadi.
  • Menyederhanakan dan mengurangi jam mengajar bagi guru yang telah lulus sertifikasi sebagai persyaratan memperoleh tunjangan menjadi kurang dari 24 jam perminggu, agar tidak terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan jabatan “perilaku KKN” dalam rangka memenuhi target waktu mengajar, sehingga dapat terjadi keseimbangan bagi seorang guru dalam mengajar, mendidik dan mengasuh.
  • Melakukan percepatan penerbitan NRG bagi guru di lingkungan Kementerian Agama dengan cara mengembalikan kewenangan menerbitkan NRG kepada Kementerian Agama. Hal ini dapat dilakukan melalui kerjasama antara Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Menerbitkan perangkat peraturan perundang-undangan yang mengawal kinerja guru yang telah bersertifikat pendidik secara sistemik, pragmatik dan regulatif dan tersingkronisasi diantara beberapa Kementerian terkait dengan pelaksanaan sertifikasi guru. Mengingat selama ini belum ada pengaturan secara khusus mengenai hal ini. Diharapkan landasan legal formal tersebut dapat berpengaruh terhadap kepangkatan dan penjenjangan karier guru.
  • Menghentikan pelaksanaan Uji Kompetensi Awal (UKA) karena kebijakan yang bare dilakukan tahun 2012 tersebut dalam pelaksanaannya menyulitkan guru dan tanpa ada landasan hukum yang kuat dalam pelaksanaannya

DAFTAR PUSTAKA

A.Samana Profesionalisme Keguruan, Yogjakarta Kanisius 1994, cet. Ke-1 Atmodiwiro

Adi Saiful, .Kompetensi yang Harus Dimiliki Seorang Guru., http://www.SaifulAdi.wordpress.com, 6 Januari 2007 Ibrahim Bafadal, Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

Anoraga, Panji. 1998. Psikologi Kerja. Bandung: Remaja Rosdakarya

Arikunto, Suharmini. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.

Yogyakarta: Rhineka Cipta.

Atmodiwiro, Soebagio, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: PT. Ardadizya Jaya, 2000, cet. Ke-1

Azra, Azyumardi, Inovasi Kurikulum, Edisi 01/Tahun 2003, Strategi Pengembangan Kurikulum Madrasah Aliyah Dalam Era Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan.

Burhanuddin, Yusak, Administrasi Pendidikan, Bandung: cv. Pustaka Setia,1998, cet, Ke-1

Chumdori dkk. 2005. Landasan-Landasan Pendidikan Sekolah.Surakarta: Depdiknas

——–. 2010. ProfesiKependidikan di Indonesia. Diunduh dari http://makalahfrofesikependidikan.blogspot.com/2010/07/profesi-kependidikan-di-indonesia.html pada tanggal 09 November 2011 pukul 19:20.

Departemen Agama RI, Pedoman Pegawasan atas Tugas Guru Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum di TK,SD,SLTP dan SMU/SMK,Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003

__________, Profesionalisme Pegawasan Pendais, Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2003 Hamalik, Oemar,Pengembangan Sumber Daya Manusia:Manajemen Pelatihan ketenagakerjaan Pendekatan Terpadu,Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005, cet Ke-3

Dirjen LPMP SUMUT. 2007. Pedoman Pelaksanaan Sertifikasi. Medan.

http://www.ispi.or.id/2010/05/07/pendidikan-guru-masa-depan-yang-bermakna-bagi-peningkatan-mutu-pendidikan/

Hasibuan, H. Malayu S.P Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005, edisi revisi, cet. ke-4

Hamalik, Oemar, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara, 2006

Irianto, Agus. 2006. Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Predana

Media.

Kunandar. Guru Profesional:Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidkan Dan Sukses Dalam Sertifikasi Guru Jakarta: Raja Grafindo persada,.2007.

_________, 2007. Guru Profesional Implementasi KTSP dan Sukses dalam

Sertifikasi Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Koonzt, Harold, et.al., Management, 7th Edition, Kogakusha Ltd Mac Graw Hill, 1980

Listiyono, Agus. Kurikulum Berbasis Kompetensi. http://www.kompas. Akses 27 Juli 2011

Lembaga Administrasi Negara, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia

Majid. Abdul, 2007. Perencanaan Pembelajaran (Mengembangkan Standar

Kompetensi Guru). Bandung. Remaja Rosdakarya

Mangkunegara,Anwar. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya

Mantja. 2002. Metode Penelitian Survei. Jakarta. PT Pustaka LP3ES

Membina Mutu Pendidikan, (www. Kompas. Com), 3 februari 2005
Soebagio Atmodiworo, Manajemen Pendidikan Indonesia Jakarta: PT.Ardadijaya, 2000.

Muslich, Masnur. 2007. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. Jakarta: Bumi Aksara.

Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik, dan

_____________. 2009. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

N.K, Roestiyah Masalah-masalah Ilmu Keguruan. Jakarta: Bina Aksara.1989
Ni.am, Asrorun. Membangun Profesionalitas Guru. Jakarta : eLSAS.

.______________2006.Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

_______________. 2007. Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

______________. 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

________________. 2009. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Purwanto, Ngalim. 2003. Psikologi Belajar. Bandung: Remaja Rosdakarya Persada

Pusrwanto. Profesionalisme Guru. http://www.pustekkom. Akses 27 Juli 2011

Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Keagmaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Peraturan Mendiknas RI No. 10 Tahun 2009 Tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan , Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Rosyada,Dede Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Prenada Media. 2004.

Sujanto, Bedjo, Mensiasati Manajemen Berbasis Sekolah Di Era Krisis Yang Berkepanjangan, ICW, 2004. Syafarudin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Grasindo, 2002.

Samana, A. Profesionalisme Keguruan,Yogyakarta:Kanisius,1994 Uzer Usman, Moch. Menjadi Guru Profesional.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.2005.

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Undang-Undang Republik Indonesia, No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional , Lembaga Negara Republik Indonesia, Nomor 4301

Uwes Sanusi, Manajemen Pengembangan Mutu Dosen, Jakarta: Logos wacana Ilmu,1999.Wahyu Ariyani, Doretea, Manajemen Kualitas, yogyakarta: Andioffset 1999

Tinggalkan komentar