PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE DALAM PENYELENGGARAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Pemerintahan dibentuk dengan maksud untuk membangun peradaban dan menjaga sistem ketertiban sosial sehingga masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar dalam konteks kehidupan bernegara. Dalam perkembangannya, konsep pemerintahan mengalami transformasi paradigma dari yang serba negara ke orientasi pasar (market or public interest), dari pemerintahan yang kuat, besar dan otoritarian ke orientasi small and less government, egalitarian dan demokratis, serta transformasi sistem pemerintahan dari yang sentralistik ke desentralistik.[1]

Perkembangan organisasi dalam beberapa dekade terahir menunjukan peningkatan yang signifikan, hal ini disebabkan dengan oleh berkembangnya perubahan dinamika yang ada dalam masyarakat terkait dengan kompleksnya sinegi antara bidang sosial, politik, budaya dan ekonomi sehingga keberadaan organisasi menjadi komponen yang sangat dominan sebagai pencerminan suatu masyarakat modern. Terlebih lagi menurut Perrow yang dikutip oleh Richard H. Hall bahwa [2] : We have become a society oforganization” they surround us, We are born in them and usually die in them. Our life space between is filled with them . They are just abaut impossible to escape. Organization are us inevitable a death and tax. They absorbed society.

Penekanan yang diberikan oleh Perrow adalah bahwa manusia sudah menjadi suatu organisasi masyarakat yang lahir dan mati didalamnya bahwa setiap ruangan dalam hidup manusia diisi oleh organisasi yang keberadaanya tidak mungkin dihindari. Namun mengapa manusia memerlukan organisasi?. Begitu pentingnya arti suatu organisasi sehingga Richard H. Hall memberikan jawaban nebgapa manusia memerlukan organisasi yaitu : The answer to why we have organizations is simple : to get things done. We have organization to do things that individuals can’not do by them selves. [3] Pada dasarnya organisasi dibentuk untuk mempermudah tugas dari manusia karena sebagai individu manusia tidak dapat serta merta menyelesaikan segala sesuatu dengan usaha sendiri.

Pemerintah adalah salah satu dari elemen suatu negara yang mempunyai fungsi memformulasikan, mengekpresikan, merealisasikan, keinginan rakyat yang oleh Beloff dn Peele dijabarkan menjadi tujuh fungsi pemerintah yaitu : a) Devense, b) Law and order; c) Taxation; c) Provision of welfare service; d) Protection of individuals; e) Regulating the economi; f) Prvision of certain economic service and; g) Development of humen and phisycal resouces.[4]

Fungsi-fungsi pemerintah tersebut disalurkan lewat kebijakan publik dan program-program pemerintah yang kesemuanya termasuk kedalam tugas administrasi publik.

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagi penyusunan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Fenomena demokrasi ditandai dengan menguatnya kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan saling ketergantungan antara bangsa, terutama dalam pengelolaan sumber-sumber daya ekonomi dan aktivitas dunia usaha.

Kedua fenomena tersebut, baik demokratisasi maupun globalisasi, menuntut redefinisi peran pelaku-pelaku penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah sebelumnya memegang kuat kendali pemerintahan, cepat atau lambat mengalami pergeseran peran dari posisi yang serba mengatur dan mendikte ke posisi sebagai fasilitator. Dunia usaha dan pemilik modal, yang sebelumnya berupaya mengurangi otoritas negara yang dinilai cenderung menghambat aktivitas bisnis, harus mulai menyadari pentingnya regulasi yang melindungi kepentingan publik. Sebaliknya, masyarakat yang sebelumnya ditempatkan sebagai penerima manfaat (beneficiaries), mulai menyadari kedudukannya sebagai pemilik kepentingan yang juga berfungsi sebagai pelaku [5].

Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka untuk membangun peradaban dan menjaga sistem ketertiban sosial sehingga masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar dalam konteks kehidupan bernegara. Dalam perkembangannya, konsep pemerintahan mengalami transformasi paradigma dari yang serba negara ke orientasi pasar (market or public interest), dari pemerintahan yang kuat, besar dan otoritarian ke orientasi small and less government, egalitarian dan demokratis, serta transformasi sistem pemerintahan dari yang sentralistik ke desentralistik.[6]

Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat yang memburuk.

Sehubungan dengan itu, sebuah konsep baru yang semula diperkenalkan lembaga-lembaga donor internasional, yaitu konsep tata kepemerintahan yang baik (good governance), sekarang menjadi salah satu kata kunci dalam wacana untuk membenahi sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Konsep ini pertama diusulkan oleh Bank Dunia (World Bank), United Nations Development Program (UNDP), Asian Development Bank (ADB), dan kemudian banyak pakar di negara­negara berkembang bekerja keras untuk mewujudkan gagasan-gagasan baik menyangkut tata-pemerintahan tersebut berdasarkan kondisi lokal dengan mengutamakan unsur-unsur kearifan lokal.[7]

Lahirnya good governance pada era awal Tahun 1990-an, oleh Organisasi Internasional khususnya yang bergerak dalam bidang bantuan keuangan dan pembangunan, telah menerapkan konsep baru sebagai sarat untuk mendapatkan bantuan keuangan dan bantuan bagi negera-negara yang membutuhkan. Diterapkannya konsep good governance sebagai syarat oleh lembaga-lembaga donor misalnya PBB, Bank Dunia maupu IMF dalam memberikan bantuan pinjaman modal menurut Kjoer dan Klavs Kinnerup dilatar belakangi oleh tiga faktor yaitu [8]: pertama pengalaman yang yang dimiliki oleh lembaga-lemabaga donor dalam mengimplementasikan program peningkatan struktural (Structural Adjusment Programmes) bahwa memperkuat kapasitas dari lembaga-lemabaga pemerintah adalah sangat diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan yang stabil; kedua setelah berahirnya perang dingin dan jatuhnya sistem ekonomi dan politik negara komunis yang menunjukan bahwa terlalu besar jumlahnya aparatur negara dan tidak efisien dari aparatur negara tersebut bisa berimbas pada kegagalan ekonomi; ketiga, perkembangan ekonomi yang luar biasa terhadap negara jepang si aktif negara sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi.

Ketiga faktor tersebut dijadikan dasara oleh masing-masing organisasi internasional tersebut dalam mengartikan good governance, sehingga batasan mengenai good governance masih belum baku. Beberapa organisasi mengindikasikan konsep good governance sebagai refrensi makro ekonomi sedangkan organisasi internasional yang lain menjadikan hak azasi manusia dan negara hukum sebagai batasan negara konsep good governance. Perbedaan konsep mengenai good governance menurut Jan Wouters dan Cedric Ryngaert sebagai berikut “The broadening of its fields of application is attributable to the fact that the good governance discourse has moved beyond its stricly macro-economic core.” [9] Berdasarkan pendapat ini bahwa batasan-batasan tentang good governance telah berkembang sedemikian pesat sehingga bukan hanya tentang makro ekonomi saja tetapi lebih luas lagi yaitu hak asasi manusia dan negara hukum.    

Tata kepemerintahan yang baik dalam dokumen United Nations Development Program (UNDP) adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses, dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara warga dan kelompok masyarakat.[10]

Konseptualisasi good governance lebih menekankan pada terwujudnya demokrasi, karena itu penyelenggaraan negara yang demokratis menjadi syarat mutlak bagi terwujudnya good govemance, yang berdasarkan pada adanya tanggungjawab, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Idealnya, ketiga hal itu akan ada pada diri setiap aktor institusional dimaksud dengan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai moral yang menjiwai setiap langkah governance.

Good governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata­mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah, tetapi menekankan pada pelaksanaan fungsi pemerintahan secara bersama-sama oleh pemerintah, masyarakat madani, dan pihak swasta. Good governance juga berarti implementasi kebijakan sosial-politik untuk kemaslahatan rakyat banyak, bukan hanya untuk kemakmuran orang-per-orang atau kelompok tertentu.[11]

Fenomena demokrasi dan globalisasi berdampak pada reformasi politik di Indonesia, khususnya pada sistem pemerintahan yang mengalami transformasi dari sistem sentralistik menjadi desentralistik. Sistem pemerintahan desentralistik menuntut adanya pendelegasian wewenang dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah, dan selanjutnya kebijakan desentralisasi ini dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan desentralisasi dengan wujud otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pemerataan pembangunan, peningkatkan daya saing daerah, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Prinsip otonomi daerah merupakan otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah dalam rangka pelayanan umum, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Kebijakan otonomi daerah memiliki konsekuensi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu secara politik, desentralisasi merupakan langkah menuju demokratisasi, karena Pemerintah lebih dekat dengan rakyat, sehingga kehadiran pemerintah lebih dirasakan oleh rakyat dan keterlibatan rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan dan pemerintahan semakin nyata. Secara sosial, desentralisasi akan mendorong masyarakat ke arah swakelola dengan memfungsikan pranata sosial yang merupakan modal sosial dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat.

Secara ekonomi, desentralisasi diyakini dapat mencegah eksploitasi Pemerintah Pusat terhadap daerah, serta dapat menumbuhkan inovasi masyarakat dan mendorong motivasi masyarakat untuk lebih produktif. Secara administrasi, desentralisasi akan mampu meningkatkan kemampuan daerah dalam melakukan perencanaan, pengorganisasian, meningkatkan akuntabilitas atau pertanggung jawaban publik.

Penyelenggaraan otonomi daerah secara faktual memberikan dampak yang positif, khususnya dalam rangka pemerataan dan peningkatan pembangunan di daerah, akan tetapi pada kenyataannya otonomi belum mampu untuk meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat. Disisi lain beberapa fakta menunjukkan otonomi daerah juga menjadi sumber rasa ketidak-adilan rakyat karena tindakan kesewenang-wenangan dan penyelewengan para penguasa di daerah.

Berdasarkan Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia, menyebutkan bahwa pada tahun 2007 terdapat 17 (tujuh belas) kasus tindak pidana korupsi yang baru ditangani, diantaranya 9 (sembilan) kasus tindak pidana korupsi tersebut terjadi pada Pemerintah Daerah. Selain itu yang menjadi perhatian adalah semua tindak pinana korupsi yang terjadi di daerah tersebut, salah satu contoh terkait dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah.[12]

Menurut TA. Legowo terdapat tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah8. Pertama, program otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Ketiga, legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga control, justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pihak eksekutif dan legislative di daerah, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah.

Upaya mewujudkan good local governance bukanlah suatu hal yang mudah seperti membalik telapak tangan, dan tentunya untuk mewujudkan itu dibutuhkan perjuangan dan waktu panjang. Sekalipun memiliki kelemahan, penyelengaraan desentralisasi merupakan sarana yang mendekatkan Bangsa Indonesia pada kondisi yang ideal untuk membangun good local governance. Upaya mewujudkan good local governance idealnya dimulai dengan mewujudkan good governance pada Pemerintah Pusat sebagai pilots pemerintahan, implementasinya Permenpan dan RB  Nomor 60 Tahun 2012 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Korupis (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM)  di Lingkungan Kementerian/Lembaga dan diatur dalam Pemerintah Daerah. Selain itu format kebijakan otonomi daerah saat ini perlu dievaluasi, untuk mengetahui apakah penyelenggaraan otonomi daerah saat ini dapat menunjang terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih dari KKN.

  1. Rumusan Masalah

Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan Good Governance dalam Penyelenggaran Pendidikan di Indonesia perlu mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut :

  1. Apa pengertian Good Governance ?
  2. Bagaimana penerapan tata kepemerintahan yang baik dalam pengembangan Pendidikan?
  3. Kendala apakah yang dihadapi dalam rangka penerapan tata kepemerintahan yang baik (good governance) dalam Pendidikan?
  4. Upaya apa yang dilakukan Pemerintah untuk mengatasi kendala yang dihadapi dalam penerapan tata kepemerintahan yang baik (good governance) dalam Pendidikan ?
  1. Tujuan dan Kajian Masalah.
  2. Dalam rangka memenuhi persyaratan sebagai tugas Mata kuliah Filsafat Menejemen.
  3. Mengetahui arti Good Governance dalam Pendidikan di Indonesia.
  1. Krangka Konsepsi.

Dalam kerangka konsepsi akan dijelaskan hal-hal yang berhubungan atau berkaitan dengan konsepsi yang digunakan penelitian dalam penelitian tesis ini. Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi antara abstraksi (generalisasi) dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai, selain itu dipergunakan sebagai landasan pada proses penelitian karya ilmiah.

Karya ilmiah dengan judul “Good Governance dalam Pendidikan di Indonesia”

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

  1. PENGERTIAN GOOD GOVERNANCE (TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK)

Good governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan institusi-­institusi lain, yaitu LSM, perusahaan swasta maupun warga negara. Bahkan istitusi non pemerintah ini dapat saja memegang peran dominan dalam governance tersebut, atau bahkan lebih dari itu pemerintah tidak mengambil peran apapun “governance withbout government”.[13]

Dari uraian di atas dapat dikatakan good governance adalah penyelenggaraan negara yang melibatkan unsur lembaga swadaya masyarakat (LSM), swasta dan masyarakat, di mana dalam mengambil suatu kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan demi kepentingan masyarakat tidak semata-mata berada ditangan pemerintah tetapi adanya partisipasi aktif dari LSM, swasta dan masyarakat tersebut.

Menurut UNDP (United Nation Development Program), good governance memiliki delapan prinsip:[14]

  1. Partisipasi
  2. Transparansi
  3. Akuntabel
  4. Efektif dan efisien
  5. Kepastian hukum
  6. Responsif
  7. Konsensus
  8. Setara dan inklusif

Menurut USAID (United States Agency International Development), good governance memiliki 5 (lima) prinsip:[15]

  1. Efektivitas
  2. Keadilan
  3. Partisipasi
  4. Akuntabilitas
  5. Transparansi

Dengan adanya perkembangan good governance, prinsip-prinsip good governance juga mengalami perkembangan:[16]

  1. Partisipasi
  2. Penegakan hukum
  3. Transparansi
  4. Kesetaraan
  5. Daya tanggap
  6. Wawasan kedepan
  7. Akuntabilitas
  8. Pengawasan publik
  9. Efektivitas dan efisiensi
  10. Profesionalisme

Ganie-Rochman sebagaimana dikutip Joko Widodo menyebutkan bahwa :

Konsep “governance” lebih inklusif daripada “government”. Konsep “government” menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi (negara dan pemerintah). Konsep governance melibatkan tidak sekedar pemerintah dan negara tapi juga peran berbagai aktor di luar pemerintah dan negara, sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa Governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif. [17]

Istilah governance sebenarnya sudah dikenal dalam literature administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi. Wacana tentang governance yang baru muncul sekitar beberapa tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan good governance dalam berbagai program bantuannya. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, term good governance diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, tata kepemerintahan yang baik, pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab, ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih.[18]

Perbedaan paling pokok antara konsep government dan governance terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep government berkonotasi bahwa peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas negara. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan.[19]

Kemudian secara implisit kata good dalam good governance sendiri mengandung dua pengertian; pertama, nilai yang menunjung tinggi kehendak rakyat dan nilai yang meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan kemandirian dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.[20]

Konsep good governance menjadi sangat populer dan sekarang diakui sebagai manifesto politik baru. Analisis Bank Dunia menekankan pentingnya program governance, yang mencakup kebutuhan akan kepastian hukum, kebebasan pers, penghormatan pada hak asasi manusia, dan mendorong keterlibatan warga negara dalam rangka pembangunan. Program governance memusatkan perhatian pada reduksi besaran organisasi birokrasi pemerintah; privatisasi badan milik negara; dan perbaikan administrasi keuangan.

Bank Dunia memberi batasan Good Governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem peradilan yang dapat diandalkan, pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya, pengelolaan kebijakan sosial ekonomi yang masuk akal, pengambilan keputusan yang demokratis, transparansi pemerintahan dan pertanggungjawaban finansial yang memadai, penciptaan lingkungan yang bersahabat dengan pasar bagi pembangunan, langkah untuk memerangi korupsi, penghargaan terhadap aturan hukum, penghargaan terhadap HAM, kebebasan pers dan ekspresi.[21]

United Nation Development Program (UNDP) merumuskan tata pemerintahan sebagai penggunaan wewenang ekonomi politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan diantara mereka. Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam konteks pembangunan, definisi governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial untuk tujuan pembangunan, sehingga good governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan social yang substansial dan penerapannya untuk menunjang pembangunan yang stabil dengan syarat utama efisien dan (relatif) merata.[22]

Pengertian governace yang dikemukakan United Nation Development Program (UNDP) ini didukung tiga pilar yakni politik, ekonomi dan admnistrasi. Pilar pertama yaitu tata pemerintahan di bidang politik dimaksudkan sebagai proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan publik, baik dilakukan oleh birokrasi sendiri maupun oleh birokrasi-birokrasi bersama politisi. Pilar kedua, yaitu tata pemerintahan di bidang ekonomi meliputi proses-proses pembuatan keputusan untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Sedangkan Pilar ketiga yaitu tata pemerintahan di bidang administrasi ,adalah berisi implementasi proses, kebijakan yang telah diputuskan oleh institusi politik.[23]

Sedangkan Lembaga Admnistrasi Negara (LAN) mengartikan governance sebagai proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam menyediakan public good dan service. LAN menegaskan dilihat dari functional aspect, governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan atau sebaliknya.[24]

Good dalam good governence menurut Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengandung dua pengertian. Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (Nasional) kemandirian pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Kedua, aspek aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Berdasarkan pengertian ini, Lembaga Administrasi Negara (LAN) kemudian mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada dua hal yaitu, Pertama orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional dan Kedua aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan- tujuan tersebut. Selanjutnya berdasarkan uraian tersebut Lembaga Administrasi Negara (LAN) menyimpulkan bahwa good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggungjawab serta efisien, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat. [25]

Konsep mengenai good governance dapat ditemukan juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, dalam penjelasan Pasal 2 (d) mengartikan kepemerintahan yang baik sebagai kepemimpinan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme, akuntabilitas, transparasi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. [26]

Governance mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusi-institusi negara. Governance mengakui dalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda. Menurut UNDP, governance atau tata pemerintahan memiliki tiga domain yaitu [27]

  1. Negara atau tata pemerintahan (state);
  2. Sektor swasta atau dunia usaha dan (private sector;)
  3. Masyarakat (society).

Ketiga domain dalam Governance tersebut berada dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sektor pemerintahan lebih banyak memainkan peranan sebagai pembuat kebijakan, pengendalian dan pengawasan. Sektor swasta lebih banyak berkecipung dan menjadi penggerak aktifitas di bidang ekonomi. Sedangkan sektor masyarakat merupakan objek sekaligus subjek dari sektor pemerintahan maupun swasta. Karena di dalam masyarakatlah terjadi interaksi di bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya.[28]

Konsep good governance adalah sebuah ideal type of governance, yang dirumuskan oleh banyak pakar untuk kepentingan praktis dalam rangka membangun relasi negara-masyarakat-pasar yang baik. Beberapa pendapat malah tidak setuju dengan konsep good governance, karena dinilai terlalu bermuatan nilai-nilai ideologis.

Meutia Ganie Rachman menyebutkan good governance sebagai mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sector negara dan sektor non pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusi-institusi negara.

Governance mengakui didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda.[29]

Purwo Santoso dengan keyakinan bahwa konsep governance yang lebih ideal adalah Democratic Governance, yaitu suatu tata pemerintahan yang berasal dari masyarakat (partisipasi), yang dikelola oleh rakyat (institusi demokrasi yang legitimate, akuntabel dan transparan), serta dimanfaatkan (responsif) untuk kepentingan masyarakat. Pada prinsipnya konsep ini secara sub stantif tidak berbeda jauh dengan konsep Good Governance, hanya saja tidak memasukkan dimensi pasar.[30]

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip­prinsip di dalamnya, dan bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik. Penilaian terhadap baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila telah bersinggungan dengan unsur prinsip-prinsip good governance. Masyarakat Taransparansi Indonesia (MTI) mengemukakan prinsip-prinsip good governance adalah sebagai berikut : [31]

  1. Partisipasi Masyarakat, Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
  2. Tegaknya Supremasi Hukum, Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi
  3. Transparansi, Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
  4. Peduli pada Stakeholder, Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
  5. Berorientasi pada Konsensus, Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dan yang terbaik bagi kelompok masyarakat, dan terutama dalam kebijakan dan prosedur.
  6. Kesetaraan, Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
  7. Efektifitas dan Efisiensi, Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
  8. Akuntabilitas, Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
  9. Visi Strategis, Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan untuk mewujudkannya, harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

Prinsip-prinsip yang melandasi konsep tata pemerintahan yang baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai landasan good governance, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Selain itu juga, Good Governance yang efektif menuntut adanya koordinasi dan integritas, profesionalisme serta etos kerja dan moral yang tinggi dari ketiga pilar yaitu pemerintah, masyarakat madani, dan pihak swasta.

Adapun krakteristik good government adalah sebagai berikut:

  1. a)     Berwawasan ke depan (visi strategic)
  2. b)    Terbuka (transparan)
  3. c)     Cepat tanggap (responsif)
  4. d)    Bertanggung jawab (akuntabel)
  5. e)     Profesional dan kompeten
  6. f)      Efisien dan efektif
  7. g)    Desentralistis
  8. h)    Demokratis
  9. i)      Mendorong partisipasi masyarakat
  10. j)      Mendorong kemitraan dengan swasta dan masyarakat
  11. k)     Menjunjung supremasi hukum
  12. l)      Berkomitmen pada pengurangan kesenjangan
  13. m)   Berkomitmen pada tuntutan pasar
  14. n)    Berkomitmen pada lingkungan hidup

Jelas bahwa good governance adalah masalah perimbangan antara negara, pasar dan masyarakat. Memang sampai saat ini, sejumlah karakteristik kebaikan dari suatu governance lebih banyak berkaitan dengan kinerja pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan investasi untuk mempromosikan tujuan ekonomi jangka panjang seperti pendidikan kesehatan dan infrastuktur. Tetapi untuk mengimbangi negara, suatu masyarakat warga yang kompeten dibutuhkan melalui diterapkannya system demokrasi, rule of law, hak asasi manusia, dan dihargainya pluralisme.

Membangun good governance adalah mengubah cara kerja state, membuat pemerintah accountable, dan membangun pelaku-pelaku di luar negara cakap untuk ikut berperan membuat sistem baru yang bermanfaat secara umum. Dalam konteks ini, tidak ada satu tujuan pembangunan yang dapat diwujudkan dengan baik hanya dengan mengubah karakteristik dan cara kerja institusi negara dan pemerintah.[32]

Esensi dari konsep good governance sebagaimana diuraikan diatas adalah kekuatan konsep governance terletak pada keaktifan sektor negara, masyarakat dan pasar untuk berinteraksi. Karena itu, good governance, sebagai suatu proyek sosial, harus melihat kondisi sektor-sektor di luar negara, sehingga terjalin suatu interkoneksitas antara sector-sektor yang merangkai governance.

Berdasarkan tuntutan reformasi politik tersebut yang diharapkan adanya good corporate government maka secara refleksi dituntut pula adanya reformasi keuangan negara, adapun tuntutan tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:

  1. Discretion Reform, reformasi ini mencakup adanya keleluasaan di dalam pengurusan keuangan negara, khususnya lebih terasa bagi pemerintahan. Seiring dengan adanya keleluasaan (disvretion) tersebut terjadi perubahan pengawasan yang semula dilakukan secara vertikal dan bercirikan sentralistis, hierarkis berubah menjadi horizontal kontrol dimana pengawasan dilakukan secara horizontal oleh DPR, yang dibantu oleh BPK dan BPKP.
  2. Budget Reform, reformasi di bidang anggaran yang memisahkan antara anggaran rutin dan anggaran pembangunan juga akan bergeser menjadi anggaran menurut organisasi, jenis belanja serta fungsinya, sehingga konsekuensinya apabila ada pergeseran anggaran harus persetujuan DPR. Demikian pula dari hasil prestasi kerja maka pelaksanaan anggaran harus diukur sampai seberapa jauh pelayanan pemerintah kepada rakyatnya, oleh karena itu pengukuran kinerja (performance measurement indicator) sudah harus diciptakan guna mengukur kinerja pemerintah.
  3. Strategic Cost Reform, adanya perimbangan keuangan pusat dan daerah, namun juga melalui pendapatan asli daerah. Pemerintah daerah dimungkinkan pula memperoleh pinjaman baik berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sebaliknya pemerintah pusat juga dimungkinkan memperoleh pinjaman dari pemerintah daerah manakala pemerintah daerah memperoleh surplus.
  4. Deficit/surplus Spending Reform, untuk perlakuan akuntansi terhadap defisit anggaran sudah lebih obyektif. Pada waktu sebelum reformasi tidak pernah dikenal deficit anggaran karena penerimaan pinjaman dicatat sebagai penerimaan negara sehingga di dalam APBN tidak mengenal defisit anggaran, demikianpun juga tidak mengenal adanya surplus anggaran. Setiap tahun pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus menghitung deficit / surplus anggaran yang sebenarnya. Apabila terjadi defisit maka selanjutnya dicarikan pemecahan maslah guna mengatasinya, sedangkan apabila terjadi surplus maka harus dialokasikan untuk kesejahteraan aktual masyarakat atau bahkan melunasi hutang luar negeri dan khususnya berorientasi untuk prospektif regenerasi agar kelak tidak meninggalkan beban bagi generasi berikut.  

Kaidah pengelolaan keuangan negara berdasarkan paradigma baru pada era reformasi ini yaitu pencerminan secara praktis tentang;

  1. Akuntabilitas yang berorientasi pada hasil, hal ini mencerminkan bahwa pelaksana-an anggaran berbasis kinerja lebih menekankan pada penerapan sistem anggaran berencana dan berprogram, yaitu lebih memperioritaskan arah anggaran yang biasanya disusun berdasarkan lembaga dan pemasukan menjadi anggaran berbasis pelaksanaan. Hal ini juga berarti menerapkan sistem penyusunan anggaran yang menekankan pada hubungan antara berbagai hasil dari program-program dan masukan-masukan yang diperlukan untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat langsung bagi kesejahteraan masyarakat, dengan demikian akan memudahkan untuk menganalisis rencana alternatif bagi pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan/direncanakan.
  2. Profesionalitas, yakni dimulai dari penyusunan rencana anggaran, pengelolaannya dan sampai pada tahap pertanggungjawaban dituntut untuk dilaksanakan secara profesionalitas, yaitu merupakan kolaborasi antara kesepadanan kemampuan dan keterampilan serta pengambil kebijakan yang menfokuskan kinerja yang efektif dan efisien, baik kinerja dari sudut proses maupun dari sudut hasil, dampak dan manfaat.
  3. Proporsionalitas, cerminan praktis dari tuntutan proporsional adalah tujuan dari anggaran yang direncanakan untuk pengelolaannya diharapkan sesuai dan sepadan dengan tuntutan keberadaan masyarakat dan bangsa Indonesia pada saat kini, katakan saat kini lapangan kerja sangat minim dan penggangguran sangat besar maka secara proporsional anggaran yang direncanakan hendaknya secara proporsional dapat menjawab tantangan bangsa Indonesia pada saat kini
  4. Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, sebagai salah satu upaya konkrit dalam rangka mewujudkan cita-cita reformasi adalah terdapatnya transparansi yang akuntabel dari pengelola keuangan negara, hal ini berarti setiap saat siapapun dan kapanpun apabila ingin melakukan verifikasi tentang pengelolaan keuangan negara bagi para pejabat pemerintah maka telah disiapkan sistem dan instrumennya termasuk penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum.
  5. Pemeriksaan keuangan oleh Badan Pemeriksa yang bebas dan mandiri, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara pasal 30 telah ditegaskan bahwa pemerintah pusat maupun daerah akan mempertang-gungjawabkan pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Laporan realisasi anggaran ini selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja juga menjelaskan prestasi kerja setiap kementerian/lembaga dan satuan kerja perangkat daerah.

Dalam teori dan praktek pemerintahan modern diajarkan bahwa untuk menciptakan the good governance, terlebih dahulu perlu dilakukan desentralisasi pemerintahan21. Demokratisasi dan otonomisasi berpengaruh linear terhadap terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan meningkatnya kualitas kesejahteraan rakyat. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia saat ini diyakini bisa menjamin segera terwujudnya good local governance, karena pelaksanaan otonomi daerah memiliki justifikasi politik dan moral yang lebih kuat. Tetapi dari semua itu, yang harus diperhatikan adalah bagaimana format penyelenggaraan otonomi daerah yang diimplementasikan dan bisa diandalkan untuk mewujudkan good local governance.[33]

Kerangka Otonomi Daerah sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memiliki dua dimensi dasar. Dimensi pertama sebagaimana tercermin dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 menitik beratkan pada apa yang sering disebut sebagai desentralisasi administratif (Administrative Decentralization). Desentralisasi administratif dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggungjawab dan sumber daya keuangan sebagai upaya menyediakan pelayanan umum kepada pemerintah. Dimensi kedua sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 adalah Desentralisasi keuangan yang merupakan konsekuensi dari kewenangan untuk mengelola keuangan (expenditure) secara mandiri.

Konsepsi desentralisasi yang berhenti hanya sebatas pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan dan pengelolaan anggaran pada akhirnya menciptakan dominasi kekuasaan oleh elit lokal. Monopoli kewenangan untuk menyusun kebijakan dan mengelola anggaran membuat akses terhadap sumber-sumber ekonomi daerah hanya kepada elit dan atau politisi lokal.

Penyelenggaraan otonomi daerah tidak terlepas dari tantangan dan hambatan, beberapa kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraan otonomi daerah, diantaranya :

  • Mentalitas aparat birokrasi yang belum berubah;
  • Hubungan antara institusi pusat dengan daerah yang masih belum sinergis;
  • Sumber daya manusia yang terbatas; pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan, penguasaan aset yang menghinggapi aparat pemerintah dan daerah.[34]

Mewujudkan good local governance hanya dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran ketiga pilar yaitu pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat. Ketiganya mempunyai peran masing-masing, dimana Pemerintahan Daerah (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) memainkan peran menjalankan dan menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain dalam local governance. Dunia usaha berperan dalam penciptaan lapangan kerja dan pendapatan di daerah. Masyarakat berperan dalam penciptaan interaksi sosial, ekonomi dan politik di daerah. Ketiga unsur tersebut dalam memainkan perannya sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik.

Penerapan tata kepemerintahan yang baik di lingkungan pemerintahan tidak terlepas dari penerapan sistem manajemen kepemerintahan yang merupakan rangkaian hasil dari pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen (planning, organizing, actuating, dan controlling) yang dilaksanakan secara profesional dan konsisten. Penerapan sistem manajemen tersebut mampu menghasilkan kemitraan positif antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, instansi pemerintah dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.

Dalam upaya mewujudkan good governance dan good local governance, pemerintah telah menetapkan agenda penciptaan tata kepemerintahan yang baik di Indonesia, agenda tersebut setidaknya memiliki 5 (lima) sasaran, yaitu [35]

Berkurangnya secara nyata praktek korupsi kolusi dan nepotisme di birokrasi, yang dimulai dari jajaran pejabat yang paling atas;

  1. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan Pemerintah yang efisien, efektif dan profesional transparan dan akuntabel;
  2. Terhapusnya peraturan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap warga;
  3. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik;
  4. Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerinatah

Untuk memenuhi tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam agenda pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, dalam Pendidikan Pemerintah menuangkan kebijakan tersebut antara lain dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

  1. PENERAPAN TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK DALAM PENDIDIKAN.

 

Salah satu tantangan besar yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam otonomi daerah ialah membenahi segala kemelut akibat derasnya arus globalisasi. Padahal, persoalan akibat huru-hara‟ menggulingkan tirani pemerintahan pun belum tuntas, harus pula berkemas dengan segala kemelut derasnya arus globalisasi. Globalisasi yang sering dianggap sebagai pembawa masalah bagi kehidupan bangsa, jika dimanfaatkan akan senantiasa memberikan manfaat bagi kehidupan.

Dalam era otonomi, sebenarnya terbuka peluang besar untuk membangun dunia pendidikan di daerah menjadi lebih berkualitas. Hal ini terjadi karena Bupati/Walikota memiliki kewenangan yang penuh dalam menentukan kualitas pendidikan sesuai dengan konteks daerahnya. Jadi dalam era otonomi, kualitas pendidikan untuk masa yang akan datang lebih banyak tergantung pada komitmen daerah untuk merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing. Jika daerah cukup visioner, pengembangan sektor pendidikan akan memiliki peluang yang besar untuk dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan para stakeholders. Manakala pemerintah daerah memiliki political will yang kuat dan kemudian disertai dengan kebijakan dan sistem perencanaan yang mengedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di daerah, dapat dipastikan pendidikan di daerah itu akan memiliki praksis yang baik, dan kualitas pendidikan akan dapat ditegakkan.

Namun sebaliknya, manakala pemerintah daerah memandang pendidikan tidak penting, sehingga visi dan misi pendidikan di daerah itu tidak dirumuskan secara jelas dalam sistem perencanaan yang baik, maka kemungkinan besar tidak dapat diderivasikan menjadi praksis pendidikan yang solid. Jika hal ini terjadi, praksis pendidikan akan berjalan secara tidak profesional. Akhirnya, setiap berbicara visi dan misi pada satuan pendidikan berubah menjadi sesuatu yang dipandang terlalu mewah. Kondisi seperti ini akan mendorong para praktisi pendidikan di daerah kehilangan arah dalam menjalankan fungsinya secara profesional. Oleh karena itu, di era otonomi pendidikan dewasa ini merupakan saat yang menentukan membangun budaya tatakelola pendidikan di daerah melalui pengembangan sistem perencanaan pendidikan yang efektif, dan Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Diakui atau tidak bahwa dalam melaksanakan pembangunan pendidikan di daerah terkadang masih ditemukan fakta yang saling bertentangan antara dimensi konsumtif dengan dimensi investatif. Dimensi konsumtif berkaitan dengan kebutuhan untuk memproduksi barang dan jasa, sedangkan dimensi investatif berkenaan dengan kebutuhan untuk menciptakan kemampuan menghasilkan barang dan jasa di masa depan. Pilihan terhadap kedua tujuan tersebut pada kenyataannya harus melalui debat politik‟ dan pertimbangan-pertimbangan politis dan ekonomis. Pertimbangan politis didasarkan kepada tujuan masyarakat secara menyeluruh, dan pertimbangan ekonomis didasarkan pada kemampuan fiskal otoritas penentu anggaran pembangunan daerah.

Dalam sepuluh tahun terakhir, kecenderungan yang menonjol terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia (lihat “Isu-isu Kritis Penyelenggaraan Otonomi Daerah”, kalbar.go.id/_appsi07/berkas/) adalah: Pertama, pendidikan cenderung terjerumus dalam proses komersialisasi di mana pendidikan telah berubah menjadi komoditi yang diperdagangkan dan dikelola seperti layaknya dunia industri manufaktur yang berorientasi pada keuntungan (profit oriented). Dunia pendidikan yang seharusnya tampil populis dan humanis, ternyata sudah semakin langka, dan bahkan setiap tahun ajaran baru tiba, tidak sedikit orang tua peserta didik yang resah, dan terpaksa harus mencari sekolah bagi anak-anaknya, dan mereka pun jauh jauh dari harus menabung untuk membayar uang pangkal, uang gedung, dan biaya pendidikan lainnya yang makin mahal. Tidak beda dengan dunia industri yang serba impersonal dan tak segan saling bersaing berebut pangsa pasar, dalam dunia pendidikan pun kini tidak lagi ada rasa malu ketika sekolah satu dengan yang lain saling berlomba menawarkan kelebihan mereka masing-masing, asalkan konsumen bersedia membayar dengan uang ratusan ribu, jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah.

Kedua, pendidikan yang makin komersial ternyata di saat yang sama juga melahirkan proses superiorisasi sekolah, di mana sekolah menjadi makin angkuh, berjarak, dan menekan orang tua siswa, baik dengan cara yang halus maupun terang­terangan. Dalam praktek, pendidikan yang berubah menjadi industri cenderung akan mengalami proses pereduksian makna, terdegradasi hanya menjadi kegiatan produksi dan berorientasi jangka pendek menghafal dan mengasah ketrampilan siswa mengerjakan soal-soal ujian. Tetapi, sama sekali tidak memiliki empati untuk membangun kecerdasan dan potensi akademik siswa dengan cara-cara yang humanis.

Dalam kurun waktu tersebut, penataan organisasi pendidikan pada kenyataannya belum banyak pengaruhnya dalam peningkatan kualitas SDM, karena birokrasi pemerintahan sepertinya sulit untuk dirubah. Menurut Irianto (2001), dalam tatanan birokrasi pendidikan masih terdapat kecenderungan sangat kuat sikap dan perilaku ego­sentralistis dari birokrasi dan elite politik tingkat pusat dan provinsi, baik dalam memperlakukan asas desentralisasi yang dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi, maupun dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Sikap dan perilaku ego-sentralistis tersebut sangat membatasi keleluasaan mengambil keputusan bagi para pengelola pembangunan di daerah. Sehingga, sering keliru dalam menterjemahkan kepentingan nasional‟ dengan manajemen yang uniformitas.

Gambaran tersebut, memang tidak terlepas dari kondisi SDM pemerintah itu sendiri. Kalau kita mau jujur, profesionalisme ketenagaan pada tatanan jabatan politispun, secara umum masih lebih rendah bila dibandingkan dengan tatanan jabatan di lingkungan eksekutif. Pada tatanan jabatan politis masih belum mampu secara seimbang memahami apa yang menjadi tugas pokok yang melekat pada jabatannya maupun wawasan yang menjadi bidang garapan pembangunan pendidikan. Sehingga, setiap menentukan kebijakan dan program-program pembangunan pendidikan, antara pihak eksekutif dan legislatif masih tidak ada kesepahaman.

Seperti yang diungkapkan Deddy Setiawan (2007:3-4) bahwa program-program pembangunan pendidikan di tingkat daerah yang diajukan pihak eksekutif gagal dilaksanakan, karena terbentur kepentingan golongan politik para anggota legislatif yang tidak menguasai dan memahami substansi pembangunan pendidikan. Atau sebaliknya, program-program pembangunan pendidikan yang diajukan pihak eksekutif hanya bersifat rutinitas, tidak strategis, kurang menyentuh permasalahan yang membutuhkan pemecahan segera. Sehingga, pada saat diajukan ke pihak legislatif pun tidak ada masukan-masukan yang berarti. Belum lagi, ketika proses pengajuan program- program pembangunan pendidikan itu pada saat mendapat persetujuan pihak eksekutif di bidang penganggaran. Eksekutif bagian ini pun masih kurang memahami dan menguasai substansi program-program pendidikan mana yang harus mendapat pembiayaan yang memadai, apalagi sampai kepada beban kerja setiap unit program pelaksana yang harus dibiayai. Ahirnya, perencanaan program hanya diputuskan berdasarkan negosiasi politik‟ antara pihak instansi teknis dengan segolongan anggota DPR dan instansi teknis dengan instansi yang mengurus anggaran.

 

Pernyataan Deddy Setiawan tersebut memperkuat laporan Indonesian Corruption Watch (ICW), bahwa pelaksanaan program-program pembangunan di daerah termasuk pendidikan lima tahun terahir, pihak eksekutif pun masih dihadapkan pada kemampuan teknis dan moralitas yang rendah. Di samping pengaruh tekanan­tekanan pihak legislatif yang ikut bermain‟ pada tatanan eksekutif, juga karena desakan para rekanan-rekanan dalam pelaksanaan program yang harus banyak melibatkan pihak­pihak swasta dan lembaga-lembaga keswadayaan dalam masyarakat. Ahirnya, banyak terjadi penyimpangan, kesalahan prosedur, bahkan banyak program yang sudah ditetapkan tidak dapat dilaksanakan, banyak sisa anggaran dan anggaran dikembalikan atau dihabiskan dengan pelaksanaan program alakadarnya. Pada tatanan pengawasan pembangunan, walaupun berhasil mengungkap berbagai bentuk korupsi dan penyimpangan, namun temuan-temuan tersebut belum menyeluruh sampai kepada akar permasalahannya. Bahkan, instansi ini masih dituding kompromistis (lihat Laporan Ahir Tahun 2004, www.antikorupsi.org/docs/latinfopub2004.pdf).

Implementasi Tata Kepemerintahan yang Baik (good governance) dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan salah satu upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia memerintahkan kepada seluruh jajaran Pimpinan Instansi Pemerintah untuk :

  1. Melaporkan harta kekayaan bagi penyelenggara negara;
  2. Membuat penetapan kinerja secara berjenjang;
  3. Meningkatkan kualitas pelayanan publik;
  4. Mencegah kebocoran dan pemborosan pada pengadaan barang dan jasa;
  5. Memberikan dukungan maksimal kepada upaya penindakan korupsi;
  6. Menerapkan kesederhanaan serta penghematan.

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi juga menginstruksikan kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota:

  1. Menerapkan prinsip-prinsip Tata Kepemerintahan yang Baik di lingkungan Pemerintah daerah;
  2. Meningkatkan pelayanan publik dan meniadakan pungutan liar dalam pelaksanaannya;
  3. Bersama-sama dengan DPRD melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kebocoran keuangan negara baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI) bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia (MENPAN-RI) telah merekomendasi kan langkah-langkah penerapan Tata Kepemerintahan yang Baik, meliputi :

  1. Peningkatan kapasitas Pemerintah daerah;
  2. Penerapan manajemen berbasis kinerja;
  3. Pelayanan sektor publik;
  4. Pencegahan korupsi pada proses pengadaan barang dan jasa;
  5. Peningkatan kemampuan teknis aparatur;
  6. Peningkatan kesadaran anti korupsi; dan
  7. Penanganan pengaduan masyarakat.

Untuk menindaklanjuti Instruksi Presiden tentang Percepatan Pemberantasan KKN, menetapkan kebijakan strategis melalui komitmen bersama dengan jajaran Pemerintahan Kabupaten/Kota dalam lingkup Provinsi, untuk secara bersama mewujudkan Tata Kepemerintahan yang baik sebagai upaya pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme di wilayah administratif Provinsi dan Kabupaten/kota.

Kementerian Agama telah menerbitkan Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pemantapan pelaksanaan pelayanan dilingkungan Kementerian Agama yaitu Melakukan langkah-langkah yang mendukung peningkatan pelayanan kepada masyarakat dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

  • Membuat daftar jenis layanan kepada masyarakat beserta persyaratan administratif yang harus dipenuhi;
  • Melakukan pengamatan lapangan;
  • Membuat mekanisme prosedur dan Standard Operating Procedure;
  • Pemanfaatan ICT untuk pelayanan; dan
  • Langkah-langkah upaya pencegahan dan penindakan perilaku Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme.

Pemerintah dalam hal ini Menteri Agama mengeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) di Lingkungan Kementerian Agama, Menteri PAN dan RB mengeluarkan Permenpan dan RB  Nomor 60 Tahun 2012 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju WBK dan WBBM  di Lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, proses pembangunan zona integritas dilaksanakan melalui penerapan program pencegahan korupsi yang terdiri atas 20 (dua puluh) kegiatan yang bersifat konkrit yang akan diukur melalui indikator proses dan Kementerian Agama telah menerbitkan Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Kementerian Agama yaitu Pertama ; melaksanakan Pembangunan zona Integritas menuju wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) pada satuan kerja masing-masing. Kedua; Pelaksanaan Pembangunan zona Integritas sebagaimana dimaksud pada Diktum kesatu berpedoman pada peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 60 Tahun 2012 tentang pedoman Pembangunan zona Integritas menuju wilayah Bebas dari Korupsi dan wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Ketiga; setiap Pimpinan Satuan Kerja wajib menyusun Rencana Aksi dan memantau Pelaksanaan pembangunan zona Integritas menuju wilayah Bebas dari Korupsi dan wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU di lingkungan satuan kerja masing-masing. Keempat ; Melaksanakan Instruksi ini dengan penuh tanggung jawab dan melaporkan hasil-hasilnya secara berkala kepada Menteri Agama melalui saluran hierarkis.

Upaya Pemerintah dan Pemerintah daerah untuk mewujudkan Tata Kepemerintahan yang baik diaktualisasikan dalam Strategi dan Arah Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Menyadari betapa pentingnya peningkatan kualitas pendidikan tersebut, semua pihak telah berupaya dan berbagai kebijakan telah dilaksanakan. Namun, sepertinya tetap saja belum berhasil membawa bangsa kita memenangkan persaingan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bahkan, bila kualitas SDM Bangsa Indonesia diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), hampir setiap tahun peringkat Indonesia selalu berada pada tingkatan yang memalukan harkat dan martabat bangsa. Sungguh memilukan! Di mana sebetulnya akar permasalahannya?

Kebijakan umum tentang Pengelolaan Keuangan Negara dalam pengelolaan anggaran Pendidikan, bahwa Pembangunan nasional diterjemahkan dalam kebijakan anggaran yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Hal mendasar yang menjadi pusat perhatian masyarakat dalam rangka implementasi Good Governance dewasa ini, khususnya bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah adalah keterbukaan, partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dan akuntabilitas Pemerintahan dan perbaikan pelayanan publik oleh instansi Pemerintah.

Pentingnya partisipasi masyarakat dinyatakan secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Pasal 2 ayat (4) yang menyatakan bahwa tujuan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional untuk :

  1. Mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan;
  2. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
  3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
  4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
  5. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Pendekatan partisipatif dalam perencanaan pembangunan terwujud dalam bentuk rangkaian Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) dan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang dilakukan secara berjenjang dari mulai tingkat Desa (Musrenbangdes), Kecamatan (Musrenbang Kecamatan) dan kabupaten (musrenbang kabupaten) dan Rakorbang tingkat Provinsi. Rangkaian forum ini menjadi bagian dalam menyusun system perencanaan dan anggaran untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan setiap tahun. Melalui musrenbang, masyarakat berpeluang menyampai kan aspirasi mereka dan berpartisipasi dalam menghasilkan dokumen perencanaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Gambar 1
Alur Proses Penyusunan APBD

Sumber : Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2007 tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah Provinsi Bengkulu

Gambar 2

Koordinasi Perencanaan Anggaran pada Kementerian Agama

Perencanaan Anggaran dimulai dari Proses pengambilan kebijakan melalui diskusi antar instansi pemerintah dengan berbagai komponen masyarakat yang difasilitasi oleh suatu tim ahli. Diskusi tersebut menghasilkan rumusan tentang arah kebijakan umum dan program pembangunan jangka menengah yang dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah dan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD). Sementara RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah, Renstra SKPD ditetapkan oleh pimpinan satuan kerja masing­masing, berbeda dengan Kementerian Agama RPJM di tetapkan oleh Pusat.

Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA­SKPD) atau DIPA Satker Lembaga/Kementerian adalah dokumen yang memuat pendapatan, belanja dan pembiayaan yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh pengguna anggaran. Dokumen ini terbitkan setelah APBD/APBN disahkan oleh DPRD/DPR.

Untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas program dan anggaran, setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah, DPA-SKPD harus memuat informasi lengkap mengenai jenis program dan kegiatan, lokasi, maupun jumlah dari program yang direncanakan. Untuk mengukur efesiensi dan efektivitas program/kegiatan sebuah dokumen DPA SKPD harus memuat indikator, tolok ukur, dan target kinerja yang akan dicapai. Data yang terdapat untuk mengukur semua itu adalah capaian program, input, output, hasil, serta kelompok sasaran. Selain data rencana kerja, dalam dokumen tercapat rincian pendapatan, belanja dan pembiayaan yang diprogramkan.

Dalam rangka mendukung terwujudnya Good Governance dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan keuangan negara harus diselenggarakan secara profesional, terbuka dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Kebijakan Umum Anggaran Pemerintah Daerah diarahkan pada :

  1. Meningkatnya akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat; memperkecil kesenjangan pelayanan publik antar daerah (Publik Service Provision Gap) dan meningkatnya kemampuan Pemerintah Daerah dalam menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD).
  2. Anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan daerah.
  3. Dalam upaya meningkatkan PAD, Peraturan Daerah yang ditetapkan hendaknya tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan mengorbankan kepentingan jangka panjang menghambat mobilitas penduduk, lalulintas barang dan jasa antar daerah, serta kegiatan impor/ekspor.
  4. Anggaran menjadi pedoman bagi manajemen pemerintahan dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan dan untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
  5. Anggaran harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efsiensi dan efektifitas
  6. Peningkatan capacity building sumber daya dalam rangka penyusunan, pelaksanaan dan pelaporan APBD.

Pada tahun anggaran 2007 Pemerintah dan Pemerintah Daerah menerapkan anggaran berbasis kinerja. Sistem ini memperhatikan indikator keberhasilan suatu kegiatan yang terdiri dari Capaian Program, Input, Output, Benefit dan Impact pengalokasian anggaran satuan kerja perangkat daerah sebagai pengguna anggaran. Sehingga untuk seluruh alokasi dana satuan kerja yang bertanggung jawab adalah kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan baik fisik maupun keuangan.

Setiap alokasi belanja terukur dan dapat menjelaskan secara gamblang apakah belanja tersebut gunanya untuk kepentingan aparatur atau publik.

Sumber-sumber dana terscermin sebagai pendapatan dan sebagai pembiayaan untuk membiayaai seluruh belanja yang dialokasikan. Dengan kata lain anggaran kinerja berbasis pada anggaran defisit dan surplus yang penatausahaannya menggunakan Actual Basic. Sehingga setiap akhir tahun anggaran disusun neraca daerah yang dapat menunjukkan posisi aset daerah.

Berbeda dengan metode anggaran sebelumnya yaitu Metode Cash Basic, sisa lebih perhitungan APBD tahun lalu dimasukkan sebagai pendapatan, sedangkan pada Metode Acrual Basic atau Anggaran Kinerja (Performance Budget) bisa lebih perhitungan APBD tahn lalu dijadikan sebagai sumber pembiayaan. Kemudian dari sisa belanja pada Metode Cash Basic lebih dikenal adanya Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan. Lain halnya dengan Metode Actual Basic atau Anggaran Kinerja dikenal adanya bagian Belanja Aparatur dan Belanja Publik.

Pada masing-masing bagian belanja tersebut terdapat 3 (tiga) jenis pembiayaan yakni Biaya Administrasi Umum (BAU), Biaya Operasional Pemeliharaan (BOP) dan Belanja Modal (BM). Perbedaan prinsip lainnya adalah filosofi dari suatu pengalokasian anggaran, dimana pada Metode Cash Basic hanya mengukur Output (pengeluaran langsung) dari sejumlah input (biaya) ang dikeluarkan. Sedangkan pada Anggaran Kinerja mengukur secara cermat hasil yang diharapkan atas pengalokasian sejumlah biaya (Input) tertentu.

Prinsip yang terkandung dalam Anggaran Kinerja (Performance Budget) antara lain menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Melalui Anggaran Kinerja ini, perencanaan dititik beratkan kepada optimalisasi kinerja dari masing-masing unit kerja sesuai dengan Tugas dan Fungsi. Hal ini dikarenakan Outcome dari Unit Kerja merupakan pencerminan dari pencapaian Visi dan Misi Pemerintah yang dijabarkan dalam Renstra Provinsi sebagai dokumen yang tidak dapat dipisahkan dari APBD. Dalam penyusunan alokasi Belanja APBD/APBN tetap menganut prinsip 3E yakni Efektif, Efisien dan Ekonomis.

Gambara untuk anggaran Pendidikan pada Satuan Kerja Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon pada Unit Organisasi Ditjen Pendidikan Islam Tahun Anggaran 2014 sebagai berikut :

  1. Peningkatan Akses, Mutu, Kesejahteraan dan Subsidi Pendis Rp. 275.000.000,-
  2. Peningkatan Akses, Mutu, Kesejahteraan dan Subsidi Pendidikan Keagaman Islam Rp.587.000.000,-
  3. Peningkatan Akses, Mutu, Kesejahteraan dan Subsidi Raudlatul Athfal/Bustanul Athfal dan Madrasah Rp. 30.422.790.000,-
  4. Dukungan Menejemen Pendidikan dan Pelayanan Tugas Teknis Lainnya Pendidikan Islam Rp.22.899.844.000,-

Jumlah Anggaran Tahun 2014 yang tertuang dalam Rencana Kerja Anggran Satuan Kerja Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon Unit Organisasi Ditjen Pendidikan Islam, Program Pendidikan Islam sebesar Rp.54.184.634.000,- (Sumber RKA-KL Tahun Anggaran 2014 Kemenag Kota Cilegon)

  1. KENDALA APAKAH YANG DIHADAPI DALAM RANGKA PENERAPAN TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK DALAM PENDIDIKAN

Upaya Pemerintah untuk menegakkan tata kepemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan negara. Pemerintah Indonesia mengatur mekanisme pengelolaan pendidikan melalui Peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan teknis lainnya telah berkembang selama bertahun-tahun sebagai jawaban terhadap berbagai upaya untuk meningkatkan kerangka hukum dalam mekanisme pengelolaan pendidikan.

Mekanisme pengelolaan dalam Pendidikan dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru sebagai suatu perangkat hukum dalam sebuah institusi, juga sebagai kumpulan bentuk pola perilaku atau budaya organisasi pengelolaan pendidikan.

Dalam penerapan good governance pada pendidikan ditemui beberapa kendala diantaranya : Kendala Internal dan Kendala Eksternal, Perlu pula dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang diuraikan dalam makalah ini terbatas pada permasalahan pendidikan formal. Namun sebelum menguraikan permasalahan eksternal dan internal tersebut, terlebih dahulu disajikan uraian singkat tentang fungsi pendidikan. Uraian yang disebut terakhir ini dianggap penting, karena permasalahan pendidikan pada hakekatnya terkait erat dengan realisasi fungsi pendidikan.

Fungsi Pendidikan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rumusan pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ini terkandung empat fungsi yang harus diaktualisasikan olen pendidikan, yaitu: (1) fungsi mengembangkan kemampuan peserta didik, (2) fungsi membentuk watak bangsa yang bermartabat, (3) fungsi mengembangkan peradaban bangsa yang bermartabat, dan (4) fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa. Noeng Muhadjir (1987: 20-25) menyebutkan bahwa, sebagai institusi pendidikan mengemban tiga fungsi. Pertama, pendidikan berfungsi menumbuhkan kreativitas peserta didik. Kedua, pendidikan berfungsi mewariskan nilai-nilai kepada peserta didik; dan Ketiga, pendidikan berfungsi meningkatkan kemampuan kerja produktif peserta didik.

Kalau dibandingkan dengan fungsi pendidikan yang termaktup dalam rumusan pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di atas, fungsi pertama yang dikemukakan Noeng Muhadjir secara substantive sama dengan fungsi keempat menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sedangkan fungsi pendidikan ketiga yang dikemukakan Noeng Muhadjir pada dasarnya sama dengan fungsi pertama menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sementara itu, Vebrianto, seperti dikutip M. Rusli Karim (1991: 28) menyebutkan empat fungsi pendidikan. Keempat fungsi dimaksud adalah: (1) transmisi kultural, pengetahuan, sikap, nilai dan norma ; (2) memilih dan menyiapkan peran sosial bagi peserta didik; (3) menjamin intergrasi nasional; dan (4) mengadakan inovasi-inovasi sosial.

Terlepas dari adanya perbedaan rincian dalam perumusan fungsi pendidikan seperti tersebut di atas, namun satu hal yang pasti ialah bahwa fungsi utama pendidikan adalah membantu manusia untuk meningkatkan taraf hidup dan martabat kemanusiaannya.

Permasalahan-permasalahan dalam pendidikan formal yaitu :

  1. Permasalahan Eksternal.

Permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-dimensei eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal pendidikan meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga dimensi global. Dari berbagai permasalahan pada dimensi eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini, makalah ini hanya akan menyoroti dua permasalahan, yaitu permasalahan globalisasi dan permasalahan perubahan sosial.

  • Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena ia merupakan trend abad ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap sektor kehidupan, termasuk pada sektor Sedangakan permasalah perubahan sosial adalah masalah “klasik” bagi pendidikan, dalam arti ia selalu hadir sebagai permasalahan eksternal pendidikan, dan karenya perlu dicermati. Kedua permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan, jika pendidikan ingin berhasil mengemban misi (amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma etika masa depan.

Permasalahan Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003: 182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh, globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang pendidikan. Namun gejala kearah itu sudah mulai nampak.

Sejumlah SMK dan SMA di beberapa kota di Indonesia sudah menerapkan sistem Manajemen Mutu (Quality Management Sistem) yang berlaku secara internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah mereka, yaitu SMM ISO 9001:2000; dan banyak diantaranya yang sudah menerima sertifikat ISO, untuk Penyelenggraan Pendidikan pada Kementerian Agama belum melaksanakan sistem Manajemen Mutu (Quality Management Sistem).

Oleh karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan actual pendidikan. Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkuwalitas (Kuntowijoyo, 2001; 122).

Dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai terlihat pada tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada tingkat sekolah menengah.

Bila persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya tidak menjadi sangat krusial (gawat). Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah adanya “regulasi-regulasi”. Dalam bidang pendidikan hal itu tampak pada batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar internasional. Pada jajaran SMK regulasi sekolah berstandar internasional tersebut sudah lama disosialisasikan. Bila regulasi berstandar internasional ini kemudian ditetapkan sebagai prasyarat bagi output pendidikan untuk memperolah untuk memperoleh akses ke bursa tenaga kerja global, maka hal ini pasti akan menj adi permasalah serius bagi pendidikan nasional.

Globalisasi memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi pada waktu yang sama ia juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan pada pendidikan nasional. Karena pendidikan pada prinsipnya mengemban etika masa depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima dan menghadapi dinamika globalisasi sebagai bagian dari permasalahan pendidikan masa kini.

  • Permasalahan perubahan sosial, ada sebuah adegium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, semuanya berubah; satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Itu artinya, perubahan social merupakan peristiwa yang tidak bisa dielakkan, meskipun ada perubahan social yang berjalan cepat dan ada pula yang berjalan lambat.

Bahkan salah satu fungsi pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, adalah melakukan inovasi-inovasi social, yang maksudnya tidak lain adalah mendorong perubahan social. Fungsi pendidikan sebagai agen perubahan sosial tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan paradoks.

Kenyataan menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari perkembangan ilmu perkembangan dan teknologi yang demikian pesat dewasa ini, perubahan social berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi budaya menjadi lebih menonjol, tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial secara akurat (Karim, 1991: 28).

Dalam kaitan dengan paradoks dalam hubungan timbal balik antar pendidikan dan perubahan sosial seperti dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat peringatan Sudjatmoko (1991:30) yang menyatakan bahwa Negara-negara yang tidak mampu mengikuti revolusi industri mutakhir akan ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Negara merdeka. Dengan kata lain, ketidakmampuan mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian harus menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksisi pendidikan Nasional.

  1. Permasalahan Internal.

Seperti halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal pendidikan di Indonesia masa kini adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001: 2 10-225) misalnya, mencatat permasalahan internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti permasalahan yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas tiga permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan sistem kelembagaan, profesionalisme guru dan strategi pembelajaran.

Permasalahan internala di Indonesia diantaranya :

  • Lemabag Pendidikan :

Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan uraian ini ialah mengenai adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar pendidikan umum dan pendidikan agama. Dualisme atau dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari pemikiran Islam klasik yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau ilmu ghairuh syariah dan ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981: 182).

Dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri ini kita anggap sebagai permasalahan serius, bukan saja karena hal itu belum bisa ditemukan solusinya hingga sekarang, melainkan juga karena lembaga tersebut, menurut Ahmad Syafii Maarif (1987:3) hanya mampu melahirkan sosok manusia yang “pincang”. Jenis pendidikan yang pertama melahirkan sosok manusia yang berpandangan sekuler, yang melihat agama hanya sebagai urusan pribadi.

Sedangkan sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok manusia yang taat, tetapi miskin wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan tersebut merupakan kendala untuk dapat melahirkan sosok manusia Indonesia “seutuhnya”. Oleh karena itu, Ahmad Syafii Maarif (1996: 10-12) menyarankan perlunya modal pendidikan yang integrative, suatu gagasan yang berada di luar ruang lingkup pembahasan makalah ini.

  • Profesionalisme Guru

Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi keberhasilan pendidikan.

Menurut Suyanto (2007: 1), “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis alfabetikal maupun fungsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu lan ditiru”.

Lebih jauh Suyanto (2007: 3-4) menjelaskan bahwa guru yang profesional harus memiliki kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri dimaksud adalah: (a) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, (b) harus berdasarkan atas kompetensi individual, (c) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, (d) ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat, (e) adanya kesadaran profesional yang tinggi, (f) meliki prinsip-prinsip etik (kide etik), (g) memiliki sistem seleksi profesi, (h) adanya militansi individual, dan (i) memiliki organisasi profesi.

Dari ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan sebagai moon-lighter (usaha objekan) Suyanto (2007: 4). Namun kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru terlebih terlebih guru honorer, yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi pendidikan nasional masa kini.

  • Strategi Pembelajaran tenaga pendidik.

Menurut Suyanto (2007: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal, berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan. Paulo Freire (2002: 51-52) menyebut strategi pembelajaran tradisional ini sebagai strategi pelajaran dalam “gaya bank” (banking concept).

Di pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh Suyanto sebagai berikut: berpusat pada murid, menggunakan banyak media, berlangsung dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi guru-murid berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis serta pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai strategi pembelajaran “hadap masalah” (problem posing).

Meskipun dalam aspirasinya, sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini terdapat tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional ke arah model baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru (Idrus, 1997: 79). Hal ini agaknya berkaitan erat dengan rendahnya profesionalisme guru.

  1. UPAYA YANG DILAKUKAN PEMERINTAH UNTUK MENGATASI KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENERAPAN TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA

Mencermati perkembangan kebijakan dalam penerapan Tata Pemerintahan yang baik (good governance) dalam Pendidikan di Indonesia, Pemerintah menerapkan kebijakan saat ini berorientasi pada mekanisme pasar dan mengadopsi prinsip-prinsip universal yang diterima secara nasional, dimana para pengguna pendidkan bersaing secara bebas satu sama lain. Hal ini mengisyaratkan empat prinsip dasar bagi suatu sistem pengelolaan pendidikan dalam pemerintah yang baik, berikut ini secara garis besar ada dua solusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, yaitu:

  1. Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
  2. Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.

Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru, melalui Diklat Teknis (Kementerian Agama di Pusdiklat, Balai diklat Keagamaan, Madrasah Developmen Centre) atau di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga, sarana prasarana yang dapat meningkatkan kompetensi peserta didik, dan sebagainya.

Kerangka hukum penyelenggaraan pendidikan untuk kepentingan publik telah mengalami kemajuan cukup pesat semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Perangkat hukum ini mendorong penerapan prinsip-prinsip dasar tata kepemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pendidikan yang transparan, terbuka, adil, kompetitif, ekonomis, dan efisien.

Upaya penerapan tata kepemerintahan dalam pelaksanaan pengelolaan pendidikan dapat direalisasikan sepenuhnya, hal ini disebabkan keterbatasan sumber-sumber daya tenaga pendidik seperti minimnya anggaran, kurangnya sarana dan prasarana informasi dan teknologi, kurangnya kualitas sumber daya manusia, dan budaya organisasi yang tidak kondusif menjadi hambatan untuk mewujudkan Tata Kepemerintahan yang baik dalam pelaksanan pelayanan pendidikan sebagai upaya pemerintah yang baik.

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam penerapan Tata Kepemerintahan yang baik penyelenggaran Kementerian/ Lemabag Pemerintah Daerah, menetapkan dan melaksanakan beberapa kebijakan strategis yaitu Penerapan program pencegahan Korupsi, dengan melakukan upaya mewujudkan Zona Integritas (ZI), melakukan 20 kegiatan yang bersifat kongkrit dan yang baik, yaitu :

  1. Penandatanganan Dokumen Pakta Integritas
  2. Pemenuhan Kewajiban Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN)
  3. Pemenuhan Akuntabilitas Kinerja
  4. Pemenuhan Kewajiban Pelaporan Keuangan
  5. Penerapan Disiplin PNS
  6. Penerapan Kode Etik Khusus
  7. Penerapan Kebijakan Pelayanan Publik
  8. Penerapan Whistleblower System Tindak Pidana Korupsi
  9. Pengendalian Gratifikasi
  10. Penanganan Benturan Kepentingan
  11. Kegiatan Pendidikan/Pembinaan dan Promosi Anti Korupsi
  12. Pelaksanaan Saran Perbaikan yang Diberikan oleh BPK/KPK/APIP
  13. Penerapan Kebijakan Pembinaan Purna Tugas
  14. Penerapan Kebijakan Pelaporan Transaksi Keuangan Yang Tidak Sesuai dengan Profil oleh PPATK
  15. Rekrutmen Secara Terbuka
  16. Promosi Jabatan Secara Terbuka
  17. Mekanisme Pengaduan Masyarakat
  18. Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Secara Elektronik (E-Procurement)
  19. Pengukuran Kinerja Individu Sesuai dengan Ketentuan yang Berlaku.
  20. Keterbukaan Informasi Publik

 

Pada Tahun Anggaran 2007 Pemerintah dalam menerapkan anggaran berbasis kinerja. Sistem ini memperhatikan indikator keberhasilan suatu kegiatan yang terdiri dari Capaian Program, Input, Output, Benefit dan Impact pengalokasian anggaran satuan kerja perangkat daerah atau Kepala Kantor Kementerian sebagai pengguna anggaran. Penerapan indicator kinerja diharapkan dapat mendongkrak akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.

Suksesnya penerapan Kepemerintahan yang Baik (good governance) dalam pengelolaan pendidikan dapat diukur dari tingkat keberhasilan Pemerintah menekan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam kegiatan penyelenggaran pendidikan. Upaya mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang baik sesuai dengan amanat Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1999, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

BAB III

PENUTUP

  1. KESIMPULAN
  • Penerapan Kepemerintahan yang Baik (good governance) dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia secara umum dapat berpedoman pada Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1999, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. .
  • Penerapan Kepemerintahan yang baik (good governance) dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia secara umum belum sepenuhnya memenuhi harapan, masalah ini disebabkan :
  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal, tidak mengatur secara jelas dan pasti tentang bagaimana mekanisme akuntabilitas, transparansi dan partisipasi dalam penyelenggaraan Pendidikan Indonesia.
  2. Belum optimalnya tugas dan fungsi Lembaga khusus menangani pengembangan, kebijakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan pendidikan, terutama pada Kementerian Agama.
  3. Kualitas dan kuantitas Sumber Daya Pendidik belum memenuhi kapasitas yang memadai untuk dapat terselenggaranya Kepemerintahan yang Baik (good governance) dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia terutama pada Kementerian Agama.
  4. Sarana dan prasarana dan tenaga pendidik yang dimiliki dalam penyelenggara pendidikan masih belum optimal, baru sebatas pada Sekolah Negeri, itupun pada Lembaga Pendidikan pada Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Agama masih jauh untuk menstarakan terutama pada sekolah yang dikelola oleh Lembaga Penyelenggara Pendidikan Swasta.
  • Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengambil kebijakan strategis untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam penerapan Kepemerintahan yang Baik (good governance) dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia sebagai berikut :
  1. Dalam rangka mendukung terlaksananya penerapan Kepemerintahan yang Baik (good governance) dalam pengelolaan pendidikan di Kementerian Agama, pada Tahun 2014 Jumlah Anggaran yang tertuang dalam Rencana Kerja Anggran Satuan Kerja Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon Unit Organisasi Ditjen Pendidikan Islam, Program Pendidikan Islam sebesar Rp.54.184.634.000,-.
  2. Pemerintah melakukan kegiatan monitoring dan Evaluasi pada terhadap semua Penyelenggaran Pendidikan dari sejak Pendirian Lembaga penyelenggaraan Pendidikan, Proses implementasi delapan Standar yaitu Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kepndidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, Standar Penilaian Pendidikan.
  3. Pada Tahun Anggaran 2007 Pemerintah telah menerapkan anggaran berbasis kinerja, Penerapan Indikator Kinerja diharapkan dapat mendongkrak Akuntabilitas penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia.
  4. Pemerintah mendirikan dan mengoptimalkan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan disetiap Propinsi bagi Dinas Pendidikan di Propinsi, Madrasah Developen Center, Balai Diklat Teknis Keagamaan, Pusdiklat Keagaman untuk Kementerian Agama, hal tersebut belum tersebar pada Propinsi-propinsi di Indonesia hanya pada wilayah-wilayah tertentu.

Dalam penerapan Tata Kepemerintahan yang baik pada penyelenggaran Pendidikan di Kementerian/ Lemabag Pemerintah Daerah, harus menetapkan dan melaksanakan beberapa kebijakan strategis yaitu Penerapan program pencegahan Korupsi, dengan melakukan upaya mewujudkan Pelaksanaan Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yang tertuang dalam Menteri PAN dan RB mengeluarkan Permenpan dan RB  Nomor 60 Tahun 2012 dan Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2012.

2 SARAN-SARAN

Prinsip-prinsip tata Kepemrintahan yang baik dalam Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia, merupakan suatu keharusan bagi Penyelenggaraan pemerintahan, baik Pemerintah Daerah maupun Kementerian/Lembaga yang ada di Pemerintahan Pusat. Agar penerapan tata kepemerintahan yang baik dapat diwujudkan dalam Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia, maka yang harus dilakukan sebagai berikut :

  1. Diperlukan adanya kesepakatan bersama antara Pemerintah, Masyarakat, dan Pihak penyelenggara Pendidikan Swasta untuk secara bersama-sama melaksanakan pembangunan dengan baik dan bersih dari Korupsi, Kolusi dan Kesepakatan tersebut dapat dituangkan secara tertulis dalam bentuk nota kesepakatan yang nantinya berfungsi sebagai landasan moril dan materiil dalam melaksanakan pembangunan bidang pendidikan. Nota kesepahaman tersebut sebagai wujud nyata kerjasama yang sinergis antara komponen tata kepemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan Pendidikan.
  2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus dapat menyusun Kerangka Hukum Pengadaan barang dan jasa yang dapat mengaktualisasikan nilai-nilai tata Pemerintahan yang baik dengan berpedoman pada azas-azas pembentukan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta memperhatikan aspek-aspek kearifan local dan sesuai dengan situasi dan kondisi kemampuan masing-masing Daerah.
  3. Sebagai wujud nyata dari partispasi pilar-pilar tata kepemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan Pendidikan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat membentuk kelompok kerja yang bersifat independen yang melibatkan unsur swasta dan masyarakat/praktisi pendidikan atau Dewan Pendidikan untuk secara bersama melakukan pengawasan penyelenggaraan Pendidikan. Dengan terbentuknya kelompok tersebut diharapkan dapat menampung partisipasi stake holder dalam upaya menciptakan penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia.
  4. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dalam penyelenggaraan Pendidikan, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus dapat menambah intensitas pelatihan baik untuk Tenaga Pendidik maupun Pengelola penyelenggaraan Pendidikan, pada semua tingkat yang Pelatihan sumber daya manusia bagi kegiatan penyelenggaran Pendidikan antara lain ditujukan untuk pembangunan moral aparatur yang baik, dan pengetahuan peningkatan Kompetensi Tenaga Pendidik maupun Pengelola penyelenggaraan Pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Dwiyanto. Mewujudkan Good Geovernance Melalui Pelayanan Public. hal. 78. UGM Press. Yogyakarta. 2006

Agus Dwiyanto. Mewujudkan good governance melalui pelayanan publik. hal. 90

Bappenas. Menumbuhkan Kesadaran Tata Kepemerintahan yang baik. Sekretariat Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik, hal. 1. BAPPENAS.2004

Bappenas. Menumbuhkan Kesadaran Tata Kepemerintahan yang baik., 2014 ; dalam Muhammad Arifin Siregar, S.Sos; et al, 2008

Bappenas. Menumbuhkan Kesadaran Tata Kepemerintahan yang baik, hal. 15:

Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, Third Edition (London : Black stone Press Limited, 1977) hal. 353

Cedric Ryngaert and J. Wouters, Good Governance lesson from International Organization, First Edition (New York: Wessel, 2005), hal. 69

Joko Widodo, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah), Insan Cendekia, Surabaya, 2001, hal. 18)

Lalolo Krina. Indikator Dan Tolok Ukur Akuntabilitas, Traansparansi dan Partisipas 2003 ; dalam Muhammad Arifin Siregar, S.Sos; et al, 2008

Lalolo Krina. Indikator Dan Tolok Ukur Akuntabilitas, Traansparansi dan Partisipasi. hal. 1. Sekretariat Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemrintahan yang Baik, BAPPENAS.2003

Lalolo Krina. Indikator dan Tolok Ukur Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi. hal.6.

Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan , Akuntabilitas Dan Good Goverenance” Lembaga Admnistrasi Negara dan Badan Penagwas Keuangan dan Pembangunan, Jakarta, 2000, hal.5

Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Op.Cit.Hal.

Legal Searching. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Legal Searching BKD Jawteng. 2007)

Local Governance Support Program (LGSP), Pedoman Teknis; Local Governance Assesment (Jakarta; LGSP, 2006), h. 5

Lihat http:/www.goodgovernance.or.id/3M, 17 April 2007

Lihat www.antikorupsi.org/docs/latinfopub2004.pdf

Masyarakat Transparansi Indonesia, Prinsip-Prinsp Good Governance. MTI.Jakarta.2008 :

Meuthia Ganie-Rochman dalam artikel berjudul “Good governance : Prinsip, Komponen dan Penerapannya”, yang dimuat dalam buku HAM : Penyelenggaraan Negara Yang Baik & Masyarakat Warga, Komnas HAM, Jakarta. 2000

Purwo Santoso, Makalah “Institusi Lokal Dalam Perspektif Good Governance”, IRE, Yogyakarta.2002

Pheni Chalid, Otonomi Daerah (Masalah, Pemberdayaan, Konflik), hal. 6. Kemitraan, Jakarta. 2005

Richard H. Hall, Organizations Struktures, Prosses, and outcome, Eighth Edition (New Jersey: Person Education inc, 2002)m hal. 4

Ryan Bakry,M Tesis Implementasi Hak Azasi Manusia dalam konsep Good Governance di Indonesia hal.65 UI Jakarta, 2010

Samodra Wibawa, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Kumpulan Tulisan, (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 2006), h.77

Sofian Efendi. Membangun Budaya Birokrasi untuk Good Governance. Lokakarya Reformasi Birokrasi. hal.2. Departemen Pemberdayaan Aparatur Negara, Jakarta. 2005

Suto Eko, Makalah “Mengkaji Ulang Good Gvernance”, hal,1 3. IRE.Yogyakarta.2008

Tjahjanulin Domai, MS, Drs. Dari pemerintahan ke pemerintahan yang baik, hal.6. Depdagri, Jakarta. 2005)

UNDP. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007. Kemitraan. Jakarta. 2008

Wasistiono, Sadu. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus Media, Bandung,2003,

World Bank. Laporan Kajian Pengadaan Pemerintah. World Bank, Jakarta. 2001

Peraturan Perundang-undangan :

 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN

Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil

Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi

Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pemantapan pelaksanaan pelayanan dilingkungan Kementerian Agama

Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) di Lingkungan Kementerian Agama

Permenpan dan RB  Nomor 60 Tahun 2012 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Korupis (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM)  di Lingkungan Kementerian/Lembaga

[1] Bappenas. Menumbuhkan Kesadaran Tata Kepemerintahan yang baik. Sekretariat Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik, hal. 1. BAPPENAS.2004

[2] Richard H. Hall, Organizations Struktures, Prosses, and outcome, Eighth Edition (New Jersey: Person Education inc, 2002)hal. 4

[3] Ibid hal. 4

[4] Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, Third Edition (London : Black stone Press Limited, 1977) hal. 353

[5] Lalolo Krina. Indikator Dan Tolok Ukur Akuntabilitas, Traansparansi dan Partisipas 2003 ; dalam Muhammad Arifin Siregar, S.Sos; et al, 2008

[6] Bappenas. Menumbuhkan Kesadaran Tata Kepemerintahan yang baik., 2014 ; dalam Muhammad Arifin Siregar, S.Sos; et al, 2008

[7] Agus Dwiyanto. Mewujudkan Good Geovernance Melalui Pelayanan Public. hal. 78. UGM Press. Yogyakarta. 2006

[8] M.Ryan Bakry, Tesis Implementasi Hak Azasi Manusia dalam konsep Good Governance di Indonesia hal.65 UI Jakarta, 2010

[9] Cedric Ryngaert and J. Wouters, Good Governance lesson from International Organization, First Edition (New York: Wessel, 2005), hal. 69

[10] Lalolo Krina. Indikator Dan Tolok Ukur Akuntabilitas, Traansparansi dan Partisipasi. hal. 1. Sekretariat Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemrintahan yang Baik, BAPPENAS.2003

[11] Ibid hal. 6

[12] KPK. Annual Report Tahun 2007.hal, 57. KPK, Jakarta, 2008

[13] Samodra Wibawa, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Kumpulan Tulisan, (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 2006), h.77

[14] Ibid., h. 79

[15] Local Governance Support Program (LGSP), Pedoman Teknis; Local Governance Assesment (Jakarta; LGSP, 2006), h. 5

[16] http:/www.goodgovernance.or.id/3M, 17 April 2007

17 Joko Widodo, Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah), Insan Cendekia, Surabaya, 2001, hal. 18)

[18]Sofian Efendi. Membangun Budaya Birokrasi untuk Good Governance. Lokakarya Reformasi Birokrasi. hal.2. Departemen Pemberdayaan Aparatur Negara, Jakarta. 2005

[19] Sofyan Efendi hal.2

[20] Drs. Tjahjanulin Domai, MS. Dari pemerintahan ke pemerintahan yang baik, hal.6. Depdagri, Jakarta. 2005)

[21] Suto Eko, Makalah “Mengkaji Ulang Good Gvernance”, hal,1 3. IRE.Yogyakarta.2008

[22] Lalolo Krina. Indikator dan Tolok Ukur Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi. hal.6.

[23] Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan , Akuntabilitas Dan Good Goverenance” Lembaga Admnistrasi Negara dan Badan Penagwas Keuangan dan Pembangunan, Jakarta, 2000, hal.5

[24] Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Op.Cit.Hal.5

[25] Ibid, hal.8

[26] Legal Searching. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Legal Searching BKD Jawteng. 2007)

[27] Ibid, hal . 6:

[28] Sadu Wasistiono, Op.Cit, hal.31

[29] Meuthia Ganie-Rochman dalam artikel berjudul “Good governance : Prinsip, Komponen dan Penerapannya”, yang dimuat dalam buku HAM : Penyelenggaraan Negara Yang Baik & Masyarakat Warga, Komnas HAM, Jakarta. 2000

[30] Purwo Santoso, Makalah “Institusi Lokal Dalam Perspektif Good Governance”, IRE, Yogyakarta.2002

[31] Masyarakat Transparansi Indonesia, Prinsip-Prinsp Good Governance. MTI.Jakarta.2008

[32] Lalolo Krina. Op.Cit. Hal. 7

[33] Agus Dwiyanto. Mewujudkan good governance melalui pelayanan publik. hal. 90

[34] Pheni Chalid, Otonomi Daerah (Masalah, Pemberdayaan, Konflik), hal. 6. Kemitraan, Jakarta. 2005

[35] Bappenas. Menumbuhkan Kesadaran Tata Kepemerintahan yang baik, hal. 15:

Tinggalkan komentar